Published On: Fri, Nov 3rd, 2017

Menyoal Pendekatan Bionomik, sebagai Upaya Pemanfaatan Perikanan secara Berkelanjutan

Hasil-perikanan

Oleh: Zuzy Anna dan Achmad Rizal*

MN – Perikanan tangkap merupakan bagian sektor perikanan yang memiliki potensi yang tinggi dan dapat diandalkan untuk mengembangkan ekonomi wilayah, dan juga memberikan kontribusi secara sosial-ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Selama ini, sektor perikanan tangkap mendapatkan perhatian lebih dibandingkan dengan sektor perikanan lainnya.

Saat ini persoalan Kementerian Kelautan dan Perikanan berpusat pada perikanan tangkap. Hanya saja fokus pada masalah perikanan tangkap ternyata memberikan persoalan serius di masa depan, seperti over pemanfaatan fungsi perairan yang berakibat menurunnya kualitas perairan itu sendiri yang disebabkan oleh pencemaran land based baik dari point sources maupun non point sources (Yoga, et all, 2006).

Beberapa perairan utama tercemar berat oleh limbah anorganik dan organik yang berturut-turut berasal dari limbah industri dan pemukiman. Selain itu,  hingga kini masih dijadikan tempat pembuangan limbah produksi dari enam industri tanpa pengolahan terlebih dahulu (Rizal, 2016). Bahkan tidak hanya itu, aktivitas perikanan lainnya seperti budidaya perikanan dan pariwisata ikut memberikan andil bagi menurunnya fungsi perairan, akibat output sampingan baik sengaja maupun tidak.

Sejumlah besar masyarakat memanfaatkan perairan dalam kegiatan perikanan, baik budidaya maupun tangkap. Kegiatan ini telah banyak memberikan sumbangan terhadap pendapatan wilayah dan juga kesejahteraan masyarakat pelakunya. Sayangnya kegiatan pemanfaatan perairan untuk perikanan terjebak pada kondisi yang tidak menguntungkan atau terperangkap pada situasi yang menyebabkan kondisi perairan terus terdegradasi.

Situasi ini disebabkan karena sifat perairan pada umumnya yang bersifat akses yang terbuka, pengaturan usaha atau kegiatan seringkali mengabaikan kemampuan daya dukung lingkungan perairan. Sehingga degradasi lingkungan dan penurunan kualitas air terjadi dan berujung pada penurunan produktivitas sektor-sektor yang terkait dengan pemanfaatan perairan tersebut.

Berdasarkan hak kepemilikannya, secara hukum perairan merupakan public property, dengan hak kepemilikan oleh pemerintah sebagai wakil kepemilikan publik. Dalam kaitan dengan aksesnya, seharusnya perairan berada dalam akses terkontrol (controlled access), sehingga membutuhkan izin pemerintah sebagai wakil kepemilikan publik untuk kegiatan pemanfaatannya atas sumber daya perairan yang ada.

Walaupun hak kepemilikan sudah jelas secara hukum, namun kenyataannya secara de facto menunjukkan bawa sumberdaya perairan ini menjadi sumber daya milik bersama atau everybody’s property atau common property (by nature), dengan akses yang terbuka. Hal inilah yang disinyalir menurut Hardin (1963) menyebabkan terjadinya tragedy of common.

Secara de facto, kondisi akses terbuka terjadi pada perikanan di semua tipe, baik pada perairan darat maupun perairan laut. Kendati kontrol akses dilakukan pada perairan darat maupun perairan laut, namun kenyataannya menunjukkan bahwa sampai sekarang kontrol akses tersebut hanya berkaitan dengan perizinan aktivitas tertentu seperti usaha budidaya. Sedangkan yang menyangkut pengaturan besaran input dalam bentuk kapital atau lainnya tidak pernah dilakukan.

Bahkan untuk kegiatan perikanan tangkap, kontrol terhadap input selalu diabaikan. Sehingga tidaklah mengherankan jika kondisi perairan darat maupun perairan laut mengalami degradasi dari waktu ke waktu dan juga usaha yang terkait dengannya menjadi tidak optimal dan berkelanjutan.

Konsekuensi lebih jauh terlihat dari semakin menurunnya kualitas perairan darat maupun lautan akibat penggunaan input baik budidaya maupun perikanan tangkap yang berlebihan dan dalam jangka panjang. Hal tersebut tentu akan berdampak pada situasi semakin menurunnya produktivitas hasil perikanan budidaya maupun tangkap.

Bahkan untuk perairan tertentu, kondisinya sudah semakin parah, dimana stok ikan telah menurun dengan signifikan, sehingga dikhawatirkan menurunkan fungsi perairan terhadap pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitarnya dalam masa depan.

Untuk itu, analisis yang komprehensif menyangkut variabel-variabel sub sektor perikanan tangkap, budidaya dan juga dimensi dari parameter lingkungan perairan, dalam analisis bio-ekonomi-lingkungan. Hal ini dapat menjadi masukan yang berharga bagi pengambil keputusan untuk mencari solusi kebijakan yang paling tepat bagi kelangsungan fungsi perairan bagi kegiatan perikanan yang optimal dan berkelanjutan, sebagai basis keberlanjutan mata pencaharian masyarakat sekitarnya.

Pendekatan Bioekonomi Perikanan sebagai Alat Analisis Keberlanjutan Perikanan

Perikanan tangkap, pada dasarnya haruslah dikelola dengan baik agar dapat berkelanjutan dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat. Jika tidak dikelola, selain dapat menyebabkan hilang atau terdegradasinya  sumber daya ikan di perairan.

Namun lebih jauh lagi akan menyebabkan habitat perairan juga rusak dan tidak dapat dimanfaatkan bagi kegiatan lainnya (Anna, 2016). Sumber daya perairan, umumnya memiliki kerentanan yang sangat tinggi akibat adanya aktivitas ekonomi dan non ekonomi (misalnya pencemaran). Hal ini menyebabkan perikanan tangkap di perairan tertentu seringkali gagal menjadi penopang ekonomi secara optimal.

Aktivitas pedagang ikan

Para peneliti bidang ekonomi sumber daya perikanan memiliki tugas untuk menjawab pertanyaan bagaimana mengelola sumber daya perikanan tangkap yang berkelanjutan dan optimal sehingga dapat diandalkan bagi ketahanan pangan dan juga kesejahteraan masyarakat. Persoalan ini tentunya bukan hanya menjadi tugas ahli perikanan semata, namun juga melibatkan berbagai disiplin ilmu lainnya, termasuk di dalamnya adalah ilmu ekonomi, sosial, biologi, matematika, dan ekologi.

Hal ini disebabkan karena untuk memperoleh nilai berkelanjutan yang juga merupakan konsep kualitatif, ilmu-ilmu tersebut dibutuhkan sebagai tulang punggungnya.

Berdasarkan historis, seperti diuraikan oleh Anna (2016), pengelolaan sumberdaya ini banyak didasarkan pada faktor biologis semata dengan pendekatan yang disebut (Maximum Sustainable Yield disingkat MSY) atau tangkapan maksimum yang lestari. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini di panen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable).

Pendekatan biologi dengan menggunakan kerangka surplus produksi ini sendiri merupakan salah satu pendekatan dari tiga pendekatan umum yang biasa dipakai khususnya untuk perikanan yang multi species. Pendekatan lain seperti Total Biomass Schaefer Model (TBSM) yang dikembangkan oleh Brown et.al (1976), Pope (1979) dan Pauly (1979) dan Panayotou (1985), serta pendekatan independen single species yang dikembangkan oleh Anderson dan Ursin (1976) dan May et. al (1979) memerlukan data dan perhitungan yang ekstensif sehingga sulit diterapkan wilayah yang memiliki multi spesies.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa bahwa jika produksi melebihi mortalitas alami, maka biomasa akan meningkat. Sebaliknya jika mortalitas alami lebih tinggi dari pada produksi, maka biomasa akan menurun.

Dengan demikian pada dasarnya istilah surplus produksi mengacu pada perbedaan atau selisih antara produksi dan mortalitas alami. Mengacu pada Hilborn dan Walter (1992), dinyatakan bahwa surplus produksi adalah jumlah peningkatan stok ikan dalam kondisi tidak ada aktivitas penangkapan atau dengan kata lain jumlah yang bisa ditangkap jika biomasa dipertahankan dalam tingkat yang tetap.

Salah satu tipe surplus produksi yang biasa digunakan adalah yang dikembangkan oleh Schaefer (1954) berdasarkan model yang dikembangkan sebelumnya oleh Graham (1935). Model Schaefer ini melibatkan beberapa hal penting seperti biomasa dari stok yang diukur dalam berat laju pertumbuhan alami dari populasi (intrinsict growth rate) dan daya dukung maksimum lingkungan (environmental carrying capacity) atau keseimbangan alamiah.

Berdasarkan pendekatan tersebut terlihat bahwa jika upaya (effort) akan mencapai titik yang maksimum jika dan hanya jika berhubungan dengan tangkap maksimum lestari (MSY). Di dalam pendekatan biologi, pengelolaan sumberdaya perikanan yang optimal dilakukan pada titik tangkap maksimum lestari ini, karena pada titik inilah diperoleh tingkat produksi yang maksimum, dengan asumsi bahwa ekosistem dalam keadaan keseimbangan (Clark, 1990) dan  tidak ada dependensi antar spesies (Conrad and Clark, 1987).

Pendekatan pengelolaan dengan konsep ini selanjutnya banyak dikritik oleh para ahli ekonomi sebagai pendekatan yang terlalu menyederhanakan permasalahan yang sebenarnya cukup kompleks dalam perikanan. Salah satu hal yang dianggap tidak pas dan menjadi masalah adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya alam.

Bahkan Conrad dan Clark (1987), Fauzi (2003), secara lebih detail mengungkapkan kelemahan pendekatan MSY sebagai berikut: Pertama, Tidak bersifat stabil, karena, perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok (stock depletion); Kedua, tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen (imputed value). Ketiga, sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri ragam jenis (multi species).

Pada awal tahun 1950-an  Gordon seorang ekonom, mencoba untuk memperbaiki kerangka model bio-ekonomi yang berbasiskan biologi ini.  Dengan mengambil kerangka biologis yang dikembangkan oleh Schaefer di atas, Gordon mempublikasikan artikel yang pertama kali secara eksplisit mengembangkan teori optimasi statik pengelolaan sumberdaya perikanan. Model yang dikembangkan oleh Gordon ini kemudian dikenal sebagai model perikanan statik Gordon-Schaefer.

Dengan memasukan parameter ekonomi yakni harga dari ouput (harga ikan per satuan berat) dan biaya dari input (cost per unit effort), Gordon mentransformasikan pendekatan Schaefer di atas menjadi pendekatan yang menggambarkan antara manfaat bersih (total revenue dan total cost) yang dihasilkan dari sumberdaya perikanan dengan input produksi (effort) yang digunakan.   Sehingga muncullah tiga jenis konsep rente ekonomi sumberdaya yang diartikan sebagai selisih (surplus) dari penerimaan yang diperoleh dari sumberdaya setelah kurangi seluruh biaya ekstraksi.

Teori model  Gordon ini merupakan kelanjutan dari sintesis Garret Hardin (1968) mengenai Tragedy of the Common yang menyatakan bahwa sumberdaya alam yang berada dalam rezim common property dengan akses yang terbuka (open access) akan menyebabkan hilangnya rente ekonomi optimal (dissipated) yang semestinya diperoleh. Dalam kondisi (open access), sumberdaya perikanan akan mencapai titik keseimbangan pada tingkat dimana penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC).

Dalam hal ini pelaku perikanan hanya menerima biaya opportunitas saja dan rente ekonomi sumberdaya atau profit tidak ada. Tingkat effort pada posisi ini adalah tingkat effort keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai “bioeconomic equilibrium of open access fishery” atau keseimbangan bionomik dalam kondisi akses terbuka.

Pada dasarnya keseimbangan bioekonomi merupakan suatu proses yang secara eksplisit  oleh Gordon sebagai konsep pendekatan pengelolaan perikanan yang optimum sebagai pendekatan MEY (Maximum Economic Yield).  Titik MEY ini sendiri diperoleh pada titik dimana rente ekonomi diperoleh secara maksimal.

Dengan demikian dibanding dengan model pendekatan biologi di atas, model pendekatan Gordon lebih menekankan pada efisiensi input dengan rente ekonomi yang maksimum mengingat jumlah input produksi yang digunakan pada model Gordon jauh lebih sedikit. Dalam kaitannya dengan penurunan kualitas sumberdaya, pada pendekatan biologi, penurunan kualitas sumberdaya tidak diperhitungkan sama sekali, sementara pada model Gordon, penurunan kualitas sumberdaya perikanan dilihat sebagai hilangnya rente ekonomi (dissipated) akibat mismanagement sumberdaya perikanan yang open access.

Pemikiran Gordon ini selanjutnya menjadi dasar pengembangan model bioekonomi yang lebih komprehensif dari dua orang ekonom lainnya yaitu Copes (1972) dan Clark dan Munro (1975).  Copes (1972), misalnya mengisi kekurangan model Gordon dengan memasukan faktor welfare effect didalam modelnya, sementara Clark dan Munro (1975) mengembangkan model dinamis dari pengelolaan sumberdaya perikanan yang optimal yang sebelumnya diabaikan.

Model Copes dikembangkan berdasarkan keterkaitan antara output dari sumberdaya perikanan (ikan) dengan biaya dan harga. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya perikanan yang optimal bisa dilihat dari berbagai sisi stakeholder yakni, pemerintah, masyarakat (konsumen) dan pelaku sendiri (produsen).  Dari ketiga aspek ini, Copes melihat surplus yang mungkin dihasilkan dari pengelolaan sumberdaya perikanan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa keseluruhan model dasar optimalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan yang dikemukakan dipersoalkan dalam ilustrasi di atas, tidak secara eksplisit membahas penurunan kualitas sumberdaya perikanan. Jika kemudian perikanan dikelola dengan pengelolaan terkendali melalui privatisasi atau melalui pengelolaan oleh pemerintah yang bertindak sebagai pengelola sumberdaya mewakili publik, maka pemerintah berupaya untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Dalam sistem pengelolaan ini, keseimbangan kesejahteraan antara pemerintah, pelaku dan masyarakat umum menjadi tujuan akhirnya.

 

 

*Penulis adalah Peneliti FPIK UNPAD

 

 

About the Author

- Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com