Published On: Thu, Jan 11th, 2018

LPPM-GMKI Angkat Bicara soal Polemik Penenggelaman Kapal dan Pelarangan Cantrang

Koordinator Kampanye dan Advokasi LPPM-GMKI, Martin Siahaan

MN, Jakarta – Lembaga Pemantau Poros Maritim – Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (LPPM-GMKI) sangat mendukung upaya pemberantasan IUU Fishing yang dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi-JK. Pemberantasan pencurian ikan adalah tindakan tegas yang dilakukan oleh pemerintah saat ini untuk mewujudkan kedaulatan maritim Indonesia.

Namun Lembaga yang diketuai oleh Herberth Marpaung itu menggarisbawahi bahwa tindakan tegas yang dimaksud adalah pemberantasan pencurian ikan (IUU Fishing), sementara, pengeboman atau penenggelaman kapal adalah salah satu cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menunjukkan ketegasannya.

“Selain pengeboman atau penenggelaman kapal, masih ada cara lainnya yang dapat dilakukan pemerintah, yang tetap bertujuan menunjukkan ketegasannya dalam pemberantasan pencurian ikan,” ujar Koordinator Kampanye dan Advokasi LPPM-GMKI, Martin Siahaan dalam siaran persnya yang diterima redaksi di Jakarta, (11/1).

Pengeboman atau penenggelaman kapal bukan satu-satunya cara mengatasi illegal fishing. Pengeboman atau penenggelaman kapal selama tiga tahun semestinya sudah cukup untuk memberi efek jera kepada maling ikan.

Untuk tahun-tahun selanjutnya, LPPM-GMKI mengimbau agar kapal-kapal yang tertangkap oleh Satgas Illegal Fishing bisa digunakan untuk menambah pendapatan negara non pajak sektor perikanan melalui prosedur lelang ataupun digunakan untuk penelitian.

“Apalagi seperti yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, saat ini pendapatan negara dari sektor perikanan masih sangat rendah dibanding sektor lainnya. Maka prosedur lelang akan lebih banyak manfaat daripada mudaratnya,” tambahnya.

Polemik Cantrang

Begitu juga dengan Alat Penangkapan Ikan jenis Cantrang. Diperlukan pengecekan lapangan, apakah cantrang benar-benar merusak ekosistem terumbu karang atau hanya sebatas teori saja. “Jika asumsinya operasional cantrang menyapu bersih dasar perairan, sudah pasti jaring cantrang akan rusak (sobek) karena jaring cantrang mengenai karang keras,” tandas Marthin.

Untuk pembuatan jaring cantrang, nelayan atau pemilik kapal harus mengeluarkan modal 5-10 juta (tergantung ukuran kapal). Jika jaring rusak, nelayan atau pemilik kapal rugi sebesar 5-10 juta rupiah sekali melaut.

“Tidak mungkin nelayan menggunakan cantrang jika ternyata merugikan diri mereka. Apalagi jika cantrang yang digunakan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Artinya cantrang yang memiliki SNI berarti sudah layak dan aman digunakan,” ujarnya menambahkan.

Dengan demikian, pemerintah, terkhusus Menteri Kelautan dan Perikanan seharusnya melakukan pengecekan lapangan secara nyata atau dengan ikut melaut bersama nelayan cantrang agar dapat melihat bagaimana nelayan menggunakan cantrang. Sehingga hal tersebut dapat memberikan kebijakan yang adil bagi semua pihak. “Sebagai solusinya, pemerintah perlu meningkatkan fungsi pengawasan terhadap penggunaan cantrang yang tidak berdasarkan SNI,” imbuh dia.

Selain itu, Menteri Kelautan dan Perikanan perlu juga mempertimbangkan hal yang berkaitan dengan sosial-ekonomi nelayan kecil ketika pelarangan cantrang tetap dilanjutkan.

Menurut LPPM-GMKI, pemerintah juga perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Apakah nelayan cantrang di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa dan daerah kepulauan lainnya dapat melanjutkan hidup dirinya dan keluarganya karena mata pencaharian utama mereka adalah menjadi nelayan dengan menggunakan cantrang? Apakah pelatihan penangkapan ikan non-cantrang sudah dilakukan kepada nelayan? Apakah pemerintah sudah memberikan konversi untuk pengganti alat cantrang?

Upaya pemberantasan IUU fishing dan penggunaan alat tangkap ikan yang berbahaya perlu dilanjutkan secara tegas. Namun bersamaan dengan itu, menata kebijakan dan program pengelolaan perikanan menuju perikanan berkelanjutan yang berdaya saing harus juga diperhatikan.

“Karena bagaimanapun, tugas dan fungsi Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak hanya sebatas pengawasan dan pelestarian sumber daya kelautan dan perikanan, namun juga termasuk pengembangan, pengolahan, dan pemasaran produk perikanan dan kelautan,” terang Marthin.

“Sayangnya, sampai saat ini, seperti yang disampaikan oleh Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, ekspor ikan cenderung menurun dikarenakan industri pengolahan ikan banyak yang tutup akibat kebijakan Menteri Susi,” tandasnya.

Sebagai contoh adalah industri pengolahan ikan di Bitung yang produksinya menurun drastis sejak lahirnya beberapa Peraturan Menteri yang dibuat oleh Menteri Susi, bahkan mereka sampai harus merumahkan ribuan pegawainya.

Tim LPPM-GMKI sempat turun mengadvokasi selama beberapa minggu. Setelah advokasi dan kampanye yang dilakukan oleh LPPM-GMKI dan beberapa jaringan masyarakat sipil lainnya, akhirnya Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah memberikan kebijakan khusus untuk industri pengolahan ikan di Bitung.

Marthin mengingatkan, jangan sampai kejadian seperti di Jawa dan Bitung juga terjadi di daerah lainnya, akibatnya masyarakat nelayan yang sebagian besar berada di ambang batas kemiskinan menjadi semakin sengsara.

“Perlu kami sampaikan bahwa para nelayan Indonesia masih sangat mencintai kepemimpinan Presiden Jokowi dan dapat patah hati jika Menteri Kelautan dan Perikanan tidak membuat kebijakan yang kongkrit yang dapat membantu meningkatkan kehidupan para nelayan kecil Indonesia,” pungkasnya..

(Anug/MN)

About the Author

- Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com