Kritisi Debat Pilpres, Direktur Maritim Strategic Center Serukan Kemandirian Alutsista
MN, Jakarta – Debat Pilpres ke empat yang berlangsung di Shang-Rila Hotel Jakarta pada Sabtu malam (30/3) yang lalu cukup berjalan menarik, meskipun sejatinya debat yang mengusung tema pokok ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional ini, belum mencapai substansi pokok permasalahan dasar negeri ini, khususnya dalam perspektif keamanan dan pertahanan.
Penyampaian dari masing masing Paslon pun belum menemukan formula yang pas dalam menghadapi permasalahan pertahanan dan keamanan Indonesia saat ini, khususnya terkait alutsista dan kesejahteraan prajurit.
Misalnya, Paslon nomor urut 02, Prabowo Subianto hanya menyebutkan bahwa pertahanan Indonesia saat ini lemah, terutama dalam urusan alokasi anggaran, masih kalah jauh dengan Singapura dan Malaysia yang sudah di atas 2% dari total GDP masing-masing negaranya.
Sementara itu, Paslon nomor urut 01, Joko Widodo hanya menyampaikan capaian-capaian keberhasilan selama empat tahun lebih di bidang pertahanan, seperti meningkatnya alokasi anggaran di bidang pertahanan, meskipun belum mencapai 2% dari total GDP, tetapi sudah mengalami kemajuan dengan meningkat sebesar 1% dari target 1.5 % persen.
Bila berkaca dari APBN 2019, anggaran Kementerian Pertahanan (kemhan) ialah sebesar Rp. 108,36 triliun atau sebesar 4,4% dari total anggaran belanja pemerintah sebesar Rp 2.461,1 triliun. Anggaran Kemhan tersebut merupakan yang terbesar kedua setelah anggaran Kementerian PUPR senilai Rp. 110,7 triliun.
Hal inilah yang menjadi perhatian Muhammad Sutisna selaku Direktur Maritim Strategic Center, di sela-sela diskusi yang diselenggarakan oleh HIMAPOL Universitas Bung Karno dengan tema tantangan Ideologi Pancasila sebagai Ketahanan Nasional di Era Revolusi Industri 4.0.
Ia menyerukan sudah saatnya Indonesia memiliki kemandirian dalam membangun industri pertahanan guna memodernisasi alutsista yang sudah berumur.
Menurut alumni FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, dengan anggaran pertahanan yang telah disebutkan oleh Capres Paslon 01, sudah pasti sangat kecil bila dibandingkan dengan luasnya wilayah Indonesia. Belum lagi anggaran tersebut juga termasuk anggaran belanja pegawai dan untuk memenuhi kesejahteraan prajurit, serta operasional dalam menjaga kedaulatan, seperti patroli di perbatasan dan lain sebagainya. Di sinilah pentingnya membangun industri pertahanan dalam negeri yang mumpuni.
Memang tidak mudah bagi negeri ini untuk membangun industri pertahanan yang berstandar internasional. Namun hal itu sangat mungkin terealisasikan apabila pemerintah benar-benar serius dalam mengelola industri pertahanan. Karena industri pertahanan saat ini selain bisa memenuhi kebutuhan pertahanan dalam negeri, juga bisa menjadi penopang ekonomi baru bagi masyarakat.
Lebih lanjut, Sutisna juga tidak sepakat apa yang dikatakan oleh Capres 02, yang menyatakan bahwa TNI kita lemah. Karena itu sama saja meragukan kekuatan militer yang dimiliki bangsa ini. Bila melihat dinamika global, meskipun masih banyak kekurangan, Indonesia berhasil masuk ke dalam 15 besar kekuatan militer yang ada di dunia, berdasarkan data yang dihimpun oleh Global Firepower Index (GFI).
Lebih jauh, ia juga menambahkan bahwa meskipun saat ini kita berada dalam situasi damai, serta menganut sistem politik bebas aktif yang tidak memiliki permasalahan dengan negara manapun di dunia, di mana kebijakan yang dibutuhkan adalah bagaimana negara ini mampu mengatasi ancaman militer maupun nirmiliter, penguatan sisi pertahanan tetap harus dilakukan.
Dalam sudut pandang teori pertahanan, bagaimana suatu negara memiliki strategi untuk mengatasi ancaman dari luar yang sewaktu-waktu bisa menganggu stabilitas keamanan negara adalah wajib, khususnya menyikapi kondisi ancaman faktual yang dihadapi oleh bangsa saat ini di era globalisasi, di mana batas batas negara terlihat samar.
Kondisi inilah yang menyebabkan setiap negara memerlukan suatu pertahanan negara yang kuat, dan dari kesimpulan tersebut, untuk memenuhi kebutuhan pertahanan negara, dibutuhkan armada-armada tempur yang memadai.
“Oleh karena itu, selain membangun industri pertahanan, negara juga harus memperhatikan kesejahteraan prajurit supaya meningkatkan daya juang untuk menjaga kedaulatan negara,” pungkas pria yang menjadi salah satu penggagas Santri Maritim ini.