Akankah Gugatan Uni Eropa Terhadap Indonesia Hambat Pencapaian SDG’S?
Oleh: Chaerudin Affan, S.E, M.Kesos*
Diketahui bersama, bahwa perkembangan industri otomotif mengarah pada energi baru terbarukan. Dengan begitu penggunaan baterai akan meningkat. Nikel sebagai bahan baku utama baterai akan sangat dibutuhkan untuk menunjang itu semua.
Oleh karena itu, tidak heran apabila hari ini nikel menjadi primadona bagi seluruh negara untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang sempat hancur pasca pandemi Covid-19, dengan mendorong industri manufakturnya berbasis bahan baku nikel. Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki Sumber Daya Alam berupa cukup besar. Dilansir oleh berbagai pihak sebagai negara produsen nikel terbesar, maka tidak heran apabila berbagai kalangan menilai bahwa Indonesia akan menjadi kunci dari suksesnya berbagai tujuan dari The Sustainable Development Goals (SDG’S).
Terdapat 17 tujuan utama dari SDG’S yang di antaranya dapat terealisasi dengan berhasilnya program energi listrik untuk transportasi. Seperti, tujuan untuk menciptakan energi bersih dan terjangkau (Affdorable and Clean Energy), lalu tujuan untuk menciptakan kehidupan sehat dan sejahtera (Good Health and Well-Being), atau tujuan untuk penanganan perubahan iklim (Climate Action).
Oleh karena itu menjadi sangat krusial permasalahan gugatan ekspor biji nikel yang dilayangkan oleh Uni Eropa kepada Indonesia pada akhir 2022 terhadap keberlangsungan konsensus dunia untuk menciptakan tatanan global baru melalui SDG’S. Sebagai negara yang berdaulat dan turut serta dalam pergaulan Internasional, Indonesia juga dituntut untuk mencapai tujuan SDG’S lainnya di dalam Negerinya sendiri.
Di mana dapat diketahui bahwa tujuan utama dari SDG’S salah satunya adalah menciptakan dunia tanpa kemiskinan (No Poverty), menciptakan dunia tanpa kelaparan (Zero Hunger), dan menciptakan perdamaian serta keadilan. Maka berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia terkait pengaturan ekspor biji nikel tidak terlepas dari usaha pencapaian dari agenda SDG’S.
Pada sisi national interest, proses banding yang sedang diperjuangkan oleh pemerintah Indonesia merupakan salah satu langkah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Sebagai negara yang disebut-sebut sebagai negara produsen nikel terbesar di dunia, Pemerintah Indonesia memiliki sikap yang teguh terhadap mandat dari konstitusinya. Pada pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa kekayaan alam yang berada diperut bumi Indonesia harus dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Atas dasar konstitusi tersebut maka pemerintah Indonesia tidak begitu saja menyerah setelah kalah dalam gugatan Uni Eropa di WTO. Hal itu karena terdapat korelasi yang koheren antara ekspor biji nikel dengan kesejahteraan rakyat. Dengan begitu kekayaan alam berupa biji nikel dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat secara langsung dan ekonomi nasional secara simultan, apabila terjadi hilirisasi nikel di Indonesia.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilansir oleh berbagai media, menyebutkan bahwa pada kuartal I tahun 2021, volume ekspor nikel Indonesia lebih dari 115,52 juta kg. Sedangkan nilai ekspor yang berhasil diperoleh Indonesia pada kuartal I tahun 2022 sebesar US$898,39 juta. Dari keseluruhan volume ekspor dan nilai ekspor yang dilakukan Indonesia, Uni Eropa bukanlah menjadi salah satu negara tujuan ekspor. Negara tujuan terbesar dari ekspor nikel adalah China, Jepang, Malaysia dan Amerika Serikat. Maka sengketa dagang ekspor biji nikel dengan Uni Eropa pada dasarnya tidak akan berpengaruh besar terhadap komoditi tersebut.
Bahkan lebih jauh lagi, apabila masalah ini berlanjut, Uni Eropa secara moril bertanggung jawab atas terhambatnya pencapaian tujuan dari SDG’S, karena menghambat Indonesia untuk menyelesaikan program-program nasionalnya untuk menyejahterakan rakyat dari eksploitasi biji nikel.
Kini Uni Eropa harus Kembali mengintrospeksi diri dalam kaitannya dengan gugatan di WTO. Begitupun WTO sendiri yang merupakan bagian dari badan dunia PBB, secara eksplisit semestinya menyukseskan konsensus bersama yang dituangkan dalam SDG’S, perlu kebijaksanaan dalam menyikapi masalah ini, mengurangi ego dari Uni Eropa. Di mana mereka perlu menengok kembali perlakuannya terhadap bangsa Indonesia di masa lampau dan melihat bagaimana perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya sebagai negara yang berdaulat.
*Penulis adalah Direktur bidang Strategi JAKI (Jaringan Aktivis Kemanusian Internasional)