Published On: Tue, Apr 18th, 2023

Apa Kabar “Ketua Kelas” Keamanan Maritim?

Armada Bakamla RI. Dok: Istimewa.

Oleh: Ahmad Arief*

Dalam beberapa kesempatan, Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI melalui kepalanya sering mengklaim sebagai “ketua kelas” keamanan maritim di Indonesia. Posisi ini dimunculkan karena ada beberapa instansi yang juga berperan sebagai lembaga penegakan hukum di laut alias maritime law enforcement agency. Itu artinya, badan yang berdiri sejak 2014 silam ini merupakan pemimpin mereka.

Instansi yang dipimpin oleh Perwira Tinggi Bintang Tiga Angkatan Laut juga digadang-gadang menjadi lembaga superior di laut, layaknya Coast Guard di negara-negara lain. Di awal pemeritahan Jokowi periode kedua, ada seorang menteri yang menyatakan perlunya badan ini dipimpin oleh Perwira Tinggi Bintang Empat. Tentu menjadi prestise tersendiri bagi seorang kepala badan. Instansi yang dahulunya bernama Bakorkamla (Badan Koordinasi Keamanan Laut) ini pun langsung didapuk sebagai Indonesian Coast Guard oleh pemerintah, yang sebenarnya fungsinya juga tak jauh berbeda di saat mengemban nama yang lama.

Jalur hukum pun ditempuh untuk memperkuat sang ketua kelas Keamanan Maritim itu. Mulai dari munculnya RUU Keamanan Laut yang sempat menjadi Prolegnas prioritas di Komisi I DPR RI tahun 2019 hingga pelaksanaan berbagai diskursus di setiap institusi kemaritiman. Seiring berjalannya waktu usai ditempa pandemi Covid-19, keberadaan RUU Keamanan Laut yang dijanjikan oleh Komisi I DPR pun hilang entah ke mana. Gantinya, pembentukan Peraturan Pemerintah  (PP) sebagai turunan dari UU Kelautan No. 32/2014 langsung digodok oleh berbagai instansi yang dikoordinir Kemenko Polhukam.

Wacana itu kian mengemuka usai adanya polemik penangkapan kapal berbendera Iran MT Horse dan kapal berbendera Panama MT Freya pada 24 Januari 2021 oleh kapal patroli Bakamla di perairan Pontianak atas tuduhan transfer bahan minyak ilegal dan kepemilikan senjata api. Polemik itu terus menggelinding bak bola salju yang sempat menghasilkan perbedaan persepsi dengan instansi lain. Di sini pula terlihat lemahnya sebuah ‘kapten tim’ keamanan maritim sekaligus penegak hukum di laut yang tidak memiliki fungsi penyidikan. Sudah terdoktrin lama, bahwa Bakamla hanya berfungsi menangkap kapal yang diduga melakukan pelanggaran, selanjutnya diserahkan ke instansi berwenang untuk melakukan penyidikan lebih lanjut.

Namun untuk kasus ini, ternyata instansi yang diminta untuk melanjutkan penyidikan seakan enggan melaksanakannya dengan alasan tertentu. Kritikan kepada Bakamla pun terus bergulir, salah satunya datang dari seorang Purnawirawan Bintang Dua TNI AL. Menurutnya, instansi yang bermarkas di Gedung Proklamasi ini ibarat kucing tanpa kuku dan taring, akan tetapi menjelma menjadi predator baru di laut yang telah mencoreng nama Indonesia di dunia internasional. Hingga akhirnya Menko Polhukam harus turun tangan menengahi polemik tersebut.

Asa PP No.13/2022

Di tengah hiruk pikuk pemulihan Covid-19 dan pembangunan Ibu Kota baru, pemerintah akhirnya mengeluarkan PP No.13/2022 tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia pada 11 Maret 2022. Tentu, PP ini menjadi asa terhadap pembangunan kekuatan institusi Bakamla. Dalam klausul pasal 10, Bakamla bisa menyelenggarakan patroli bersama dengan instansi terkait dan teknis. Selanjutnya dalam Pasal 25 disebutkan bahwa Bakamla bisa melakukan penindakan dan meneruskannya ke instansi berwenang, di mana wajib menerima dan menindaklanjutinya. Jika menolak, instansi berwenang itu wajib melapor kepada Menko Polhukam dalam waktu paling lambat 7 hari sejak tanggal penyerahan disertai dengan alasan hukumnya.

Instansi bermotto “Raksamahiva Camudresu Nusantarasya” itu kian di atas angin dengan keberadaan PP tersebut. Kewibawaan lembaga berseragam ‘abu-abu’ itu tambah mengemuka ketika diamanatkan juga untuk menyusun kebijakan nasional keamanan dan keselamatan laut nasional dalam jangka 5 tahun. Lebih tegasnya lagi, dalam PP itu, Bakamla juga diberi tugas untuk mengintegrasikan sistem keamanan dan keselamatan laut nasional dari seluruh intansi terkait dan teknis. Di sini secara implisit Bakamla telah dinobatkan menjadi ‘Ketua Kelas’ dan/atau Komandan Regu/Komandan Lapangan Keamanan Maritim.

Sudah setahun lebih PP itu berjalan. Dalam ketentuan penutup disebutkan dalam waktu paling lambat enam bulan setelah diundangkan, sistem integrasi dan keamanan laut harus sudah berjalan. Namun gaung itu terasa senyap-senyap saja sampai saat ini.

Penulis menyadari, memang tak mudah bagi Bakamla menjadi “Ketua Kelas” Keamanan Maritim. Sangat tidak mudah mengintegrasikan seluruh instansi di laut dan secara tidak langsung membawahinya dalam level teknis dan operasional. Di sana ada ayah kandung Bakamla, yakni TNI Angkatan Laut. Ada pula saudara tuanya yakni Polairud dan Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai –Ditjen Hubla Kemenhub yang sudah beroperasi sejak 1951. Instansi yang belakang disebut itu juga menggaungkan dirinya sebagai Indonesian Sea and Coast Guard.

Pantauan penulis bertahun-tahun dalam mengamati dunia kemaritiman, yang namanya sinergitas dan pengintegrasian hanya sebatas di permukaan saja. Sifatnya masih semu – lebih jelasnya lagi hanya di forum-forum  coffe morning dan FGD. Pasca itu, setiap instansi kembali menggunjing satu sama lain seperti pepatah “di laut boleh diajak, di hati siapa yang tahu?” Hal ini sejatinya benar-benar menjadi api dalam sekam bagi keamanan maritim nasional – lebih luasnya lagi bagi NKRI (Merah Putih).

Tantangan serta masalah-masalah turunan ke depan makin beragam jika fondasi dasar ini tak terselesaikan. Tak terbayangkan bagaimana tingginya ATHG di laut ke depannya di tengah situasi dunia yang kian tak menentu. Dengan begitu kompleksnya, di Indonesia tentu tidak bisa ditangani oleh satu instansi. Perlu bersama-sama dan perlu ada koordinator atau ketuanya agar dapat berjalan senafas dan selangkah. Sudah pasti antara pemimpin dan yang dipimpin harus memiliki ikatan kuat, kalau perlu secara ruh – kebatinan demi kepentingan NKRI.

Maka dari itu, tidak salah pula jika ada pihak-pihak yang ingin mengimplemetasikan itu dengan perangkat hukum yang lebih masif dan sistemik – setara UU atau revisi UU. Begitulah wacana yang disampaikan salah seorang Wakil Ketua DPD RI didampingi Kepala Bakamla saat bertemu Kepala Staf TNI AL (Kasal) beberapa waktu lalu. Memang sejarah Bakamla tidak bisa lepas dari peran DPD saat meng-goal– kan UU Kelautan pada 2014. Tidak ketinggalan pula momentum “akhir periode” bagi anggota DPR dan DPD di tahun politik saat ini. Sama halnya dengan keluarnya UU Kelautan tahun 2014 yang ada Bakamla di dalamnya, itu terjadi sehari sebelum berakhirnya masa jabatan Anggota DPR dan DPD RI periode 2009-2014.

*Penulis adalah pemerhati maritim, mantan reporter Majalah Samudra

About the Author

- Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

alterntif text
Connect with us on social networks
Recommend on Google
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com