Strategi Memperbaiki LPI 2026
Oleh: Dr Dayan Hakim NS*
Logistics Performance Index (LPI) adalah alat ukur penting kinerja suatu negara yang di kembangkan oleh Bank Dunia untuk menilai kualitas dan efisiensi sistem logistik di berbagai negara. Peringkat Indonesia pada Indeks Kinerja Logistik (LPI) Bank Dunia terakhir kali adalah pada tahun 2023, yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-63 dunia, turun dari posisi ke-46 pada tahun 2018. Indeks ini dapat dimanfaatkan oleh pembuat kebijakan, perusahaan, dan investor untuk menilai kondisi logistik dan juga membuat keputusan strategis yang lebih baik.
LPI memberikan panduan berharga bagi berbagai pihak, termasuk pembuat kebijakan, perusahaan, dan investor. Bagi pembuat kebijakan, LPI menawarkan wawasan tentang kekuatan dan kelemahan sistem logistik, membantu merumuskan strategi perbaikan. Bagi perusahaan, LPI memberikan informasi penting untuk keputusan investasi dan operasi logistik internasional. Bagi investor, LPI adalah indikator kunci dalam menilai potensi pasar dan juga risiko investasi di sektor logistik.
Penilaian Logistics Performance Index (LPI) dilakukan dengan mengukur kinerja logistik melalui enam komponen utama, yakni komponen pertama adalah Kualitas Infrastruktur (Infrastructure Quality). Komponen ini diukur dengan menilai kualitas dan ketersediaan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, dan juga bandara, yang esensial untuk efisiensi logistik. Komponen kedua adalah Kualitas dan Efisiensi Layanan Logistik (Quality and Efficiency of Logistics Services). Variabel ini dipergunakan untuk mengukur kecepatan dan ketepatan waktu pengiriman serta kualitas layanan pelanggan dari penyedia logistik.
Komponen ketiga adalah Kemampuan untuk Mengirimkan Barang Secara Tepat Waktu (Timeliness of Shipments). Variabel ini berisi Evaluasi terhadap ketepatan waktu pengiriman barang dari asal ke tujuan, termasuk kepatuhan jadwal dan manajemen waktu transit. Komponen berikutnya adalah Kemampuan untuk Mengatasi Masalah (Ability to Handle and Clear Shipments). Variabel ini dipergunakan untuk Menilai efektivitas dalam menangani dan membersihkan barang, termasuk efisiensi prosedur bea cukai.
Komponen kelima adalah Kualitas Sistem Pemantauan dan Pelaporan (Tracking and Tracing of Shipments). Variabel ini berisi evaluasi sistem pelacakan dan pelaporan pengiriman barang, penting untuk transparansi dan juga pengelolaan rantai pasok. Sedangkan komponen terakhir adalah Ketersediaan dan Kualitas Layanan Logistik Internasional (International Logistics Services), Variabel ini dipergunakan untuk Mengukur ketersediaan dan kualitas layanan logistik untuk perdagangan internasional, termasuk konektivitas global dan akses pasar internasional.
Metode pengukuran LPI menggunakan teknik statistik untuk mengubah data kualitatif menjadi kuantitatif. LPI 2023 menambahkan dua kategori data yakni LPI Berbasis Survei, yang di kumpulkan dari berbagai survei profesional logistik, dan juga Indikator Kinerja Utama (KPI) Baru, yang menggunakan big data dari pelacakan arus pengiriman global untuk mengukur kecepatan perdagangan lintas negara. KPI atas data sekunder dari institusi dipergunakan untuk memberikan detail lebih dalam tentang kinerja logistik, sedangkan LPI berbasis survei memberikan penilaian umum terhadap persepsi berbagai aspek logistik.
Pengukuran Logistics Performance Index (LPI) melibatkan metode kuantitatif dan kualitatif. Proses di mulai dengan Survei Pengguna Layanan Logistik, di mana Bank Dunia mengumpulkan pendapat dari perusahaan logistik internasional tentang kualitas berbagai aspek logistik. Proses ini melibatkan banyak ahli untuk menilai aspek persepsi dan capaian dari tiap komponen. Selain survei, data sekunder dari laporan industri, data pemerintah, dan studi akademis juga di gunakan. Data tersebut kemudian dianalisis dengan teknik statistik untuk memberikan penilaian akurat pada setiap komponen LPI. Hasilnya di susun dalam Laporan LPI yang mencakup peringkat dan juga evaluasi kinerja logistik untuk setiap negara.
Pemeringkatan skor indeks performa logistik (logistic performance index/LPI) yang dilakukan Bank Dunia pada 2023 menempatkan Indonesia di posisi ke-63 dari 139 negara. Posisi ini menunjukan Tingkat kinerja institusi terkait logistic di Indonesia pada periode tahun 2023. Terjadi penurunan dibanding pemeringkatan lima tahun sebelumnya (2018), yang mana saat itu Indonesia berada di posisi ke-46.
Penurunan peringkat ini disebabkan oleh stagnasi pada komponen infrastruktur dan kepabeanan, serta penurunan pada indikator lain seperti Timeliness, Tracking & Tracing, dan International Shipments. Infrastruktur dan kepabeanan jadi faktor kemerosotan peringkat LPI Indonesia, dengan skor masing-masing 2,90 dan 2,80. Angka itu lebih rendah dibanding negara tetangga, seperti Malaysia (3,60 untuk infrastruktur dan 3,30 untuk kepabeanan) serta Vietnam (3,20 untuk infrastruktur dan 3,10 untuk kepabeanan). Secara kumulatif, daya saing logistik dalam negeri juga masih tertinggal jauh dibanding lima negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.
Adapun, Singapura menjadi negara dengan ekosistem logistik terbaik di regional—bahkan dunia—dengan skor LPI 4,30 pada 2023. Industri logistik Singapura berhasil menyalip Jerman, yang menduduki posisi pertama dunia berdasarkan pemeringkatan LPI pada 2018. Meskipun LPI Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 46 ke 63 pada tahun 2023, secara umum ada perbaikan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yang mencerminkan peningkatan efisiensi dalam transportasi dan distribusi.
Prediksi indeks logistik Indonesia tahun 2025 menunjukkan adanya perbaikan signifikan dengan potensi pertumbuhan yang didorong oleh peningkatan efisiensi transportasi, digitalisasi, dan penetrasi e-commerce, meski masih ada tantangan seperti biaya operasional yang tinggi dan masalah konektivitas antar pulau. Beberapa sumber memproyeksikan pertumbuhan industri logistik di tahun 2025 antara 7-12,5%, dengan fokus pada transformasi digital dan adaptasi terhadap tren yang berorientasi pada pelanggan.
Upaya untuk memperbaiki kinerja logistik Indonesia pada tahun 2026 dapat dimulai dengan adanya peluang dan pendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Hal ini ditunjukan dengan adanya pertumbuhan pasar e-commerce yang signifikan. Lonjakan pasar e-commerce akan meningkatkan permintaan akan solusi pengiriman yang lebih efisien dan fleksibel. Bersandar pada UMKM sebagai pelaku bisnis e-commerce dapat difasilitasi dengan membuatkan platform yang mudah dan sederhana yang dapat meningkatkan arus logistik baik lokal maupun hinterland.
Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah diminta menerapkan digitalisasi dalam layanan antara lain Penerapan teknologi digital seperti kecerdasan buatan (AI) yang akan membantu menavigasi tantangan dan memanfaatkan peluang. Disamping itu pemerintah juga diharapkan melakukan Peningkatan Infrastruktur yang diperlukan. Hal ini disebabkan bahwa Pembangunan infrastruktur yang terus meningkat menjadi faktor penting dalam mendorong pertumbuhan logistik. Konsep distribusi yang selama ini dianut oleh sektor manufaktur harus di Transformasi menjadi Rantai Pasok dengan Fokus pada ketahanan rantai pasok menjadi penting bagi Indonesia untuk menghadapi gangguan dan ketidakpastian perekonomian global.
Meski demikian, upaya perbaikan kinerja logistic ini masih menemui banyak tantangan dalam penerapannya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah pertama mengenai Biaya Operasional logistic. Masih adanya biaya operasional yang tinggi merupakan salah satu tantangan utama dalam meningkatkan kinerja logistic Indonesia 2026. Hal ini telah penulis bahas dalam artikel sebelumnya di Maritim News tanggal 5 Agustus 2025 berjudul “Strategi efisiensi biaya logistic”.
Tantangan berikutnya adalah pengenaan pajak e-commerce akan mengakibatkan kenaikan harga, menambah biaya logistic dan menambah keruwetan administrasi digital terkait big data. Hal ini dapat menurunkan minat UMKM sebagai pelaku bisnis e-commerce. Seharusnya pembuat kebijakan justru memberikan subsidi transportasi kepada UMKM untuk meningkatkan arus distribusi ke hinterland dan remote area. Terlebih bila dikaitkan dengan Konektivitas dan Multimoda logistic ke hinterland dan remote area. Konektivitas dan sistem multimoda (penggunaan berbagai jenis moda transportasi) masih menjadi “pekerjaan rumah” yang perlu diselesaikan untuk meningkatkan efisiensi.
Pelayaran dan Logistik yang sudah berlangsung ribuan tahun tentu membutuhkan Kualitas SDM yang mumpuni namun taat azas. Peningkatan kualitas sumber daya manusia di sektor kelautan dan logistik diperlukan agar dapat meningkatkan daya saing. Pemahaman mengenai SOP dan tata Kelola logistic diperlukan agar ekosistem logistik berjalan dengan baik dan efisien. Hal ini telah penulis bahas secara mendalam dalam buku Chart Logistik Indonesia terbitan Dee Publish, Yogyakarta.
Mengacu pada penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa logistik merupakan pilar penting perekonomian Indonesia yang berbentuk kepulauan. Pembenahan distribusi ke hinterland dan remote area memerlukan kemauan politik dari pembuat kebijakan. Pengenaan pajak e-commerce dapat meningkatkan biaya logistic dan pada akhirnya menghambat kemauan UMKM untuk meningkatkan aktivitas e-commerce. Bila hal ini terjadi maka pertumbuhan arus logistik ke hinterland dan remote area menjadi terhambat dan ikut menghambat pemerataan ekonomi di Indonesia.
Masih banyak tugas yang harus diselesaikan oleh para pembuat kebijakan untuk memperbaiki kinerja logistic Indonesia. Hanya kemauan politik yang sungguh yang dapat menghapuskan ego sectoral dan meningkatkan koordinasi layanan dari pengelolan negeri ini. []
*Penulis adalah pelaku bisnis logistik dan dosen tetap pada Program MM Universitas Jayabaya





















