Oleh : Surya Wiranto

Hubungan bilateral antara Australia dan Indonesia telah mengalami berbagai metamorfosis yang kompleks dan bertingkat sedari era kemerdekaan Indonesia. Hubungan yang bergerak secara evolusioner dari periode kecurigaan historis yang disebabkan oleh perbedaan kultural dan persepsi geopolitik, menuju terwujudnya kemitraan strategis yang diakui secara mutual. Landasan hubungan kontemporer ini tidak terbentuk secara instan, melainkan melalui proses akumulatif yang dimediasi oleh serangkaian perjanjian dan kesepakatan bilateral substantif yang berfungsi sebagai perekat kelembagaan, sekaligus menciptakan kepastian hukum bagi interaksi antar-negara. Proses ini mencapai puncak signifikansi dalam kerangka hukum formal melalui penetapan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement/IA-CEPA) yang secara resmi mulai berlaku pada tanggal 5 Juli 2020. 

IA-CEPA harus dipandang bukan sekadar sebagai perjanjian perdagangan konvensional yang mengatur tarif dan kuota barang, melainkan sebagai sebuah instrumentum hukum ekonomi yang ambisius, yang dirancang secara spesifik untuk menciptakan ekosistem hukum dan regulasi yang kondusif bagi integrasi ekonomi yang jauh lebih dalam. Perjanjian ini memuat ketentuan-ketentuan spesifik yang melampaui akses pasar tradisional, mencakup liberalisasi investasi, mobilitas tenaga kerja terampil melalui mekanisme visa yang disederhanakan, dan kerja sama teknis untuk peningkatan kapasitas yang secara eksplisit bertujuan untuk mengatasi hambatan non-tarif struktural, menjadikan IA-CEPA sebagai dasar hukum utama untuk kemitraan ekonomi kedua negara.

Di bidang keamanan, hubungan kedua negara juga mengalami lompatan kualitatif yang monumental dengan ditandatanganinya Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) pada tahun 2021. DCA memberikan landasan hukum yang jauh lebih kokoh dan terstruktur bagi seluruh spektrum aktivitas kerja sama pertahanan, meliputi latihan bersama berskala besar, mekanisme pertukaran informasi intelijen yang lebih cepat dan terpercaya, serta inisiatif kerja sama industri pertahanan, seperti yang diamanatkan oleh prinsip-prinsip diplomasi pertahanan dalam undang-undang pertahanan nasional. Keberadaan DCA secara efektif mengisi ruang strategis yang sebelumnya sering kali diwarnai oleh ketidakpastian prosedural dan keraguan kelembagaan, terutama pasca-pembekuan hubungan dalam momen-momen krisis historis. Pencapaian kelembagaan ini, yang difasilitasi oleh komitmen politik tingkat tinggi yang berkelanjutan dari Canberra dan Jakarta, secara fundamental mencerminkan tingkat strategic trust (kepercayaan strategis) yang telah berhasil dibangun secara bertahap. 

Strategic trust dalam konteks ini tidak merujuk pada persahabatan personal antar pemimpin, melainkan mengacu pada keyakinan institusional yang tertanam kuat bahwa pihak lain akan bertindak sesuai dengan norma-norma dan kewajiban yang telah disepakati bersama dalam perjanjian-perjanjian bilateral, serta memiliki keyakinan bahwa pihak lain tidak akan secara sengaja mengambil langkah-langkah kebijakan yang berpotensi merugikan kepentingan vital nasionalnya. Fondasi ini, yang diperkuat oleh konsensus politik dan dukungan hukum, menjadi prasyarat bagi kerja sama yang lebih ambisius di masa depan, meskipun tantangan implementasi dan perbedaan persepsi strategis tetap mengintai di balik kerangka formal yang telah dibangun ini. Pembangunan strategic trust ini menjadi mandat yang tidak terpisahkan dari upaya diplomasi Indonesia untuk menjaga stabilitas kawasan berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku, seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Kesenjangan Antara Kerangka dan Realita

Meskipun kemajuan kelembagaan melalui IA-CEPA dan DCA tersebut merupakan capaian yang patut diacungi jempol sebagai bukti komitmen politik formal, analisis mendatar terhadap data interaksi ekonomi dan sosio-kultural yang teraktual justru mengungkapkan adanya kesenjangan yang signifikan dan mengkhawatirkan antara kerangka kerja hukum yang telah diikat dan realisasi substansial di lapangan. Nilai perdagangan dua arah antara Australia dan Indonesia, meskipun secara nominal menunjukkan peningkatan setiap tahun, masih terhitung sangat rendah jika dibandingkan dengan potensi ekonomi komplementer dan ukuran ekonomi kedua negara. Sebagai contoh spesifik, pada tahun 2023, nilai total perdagangan bilateral hanya berkisar pada angka AUD 18 miliar, suatu angka yang jauh tertinggal di belakang volume perdagangan masing-masing negara dengan mitra dagang utama mereka di Asia Timur dan Amerika Utara, seperti Tiongkok, Jepang, atau Amerika Serikat. Fenomena yang lebih mengkhawatirkan terjadi pada posisi investasi langsung Australia di Indonesia, di mana Australia masih berada di peringkat yang tidak terlalu menonjol, kerap kali berada di luar sepuluh besar investor terbesar, padahal Indonesia merupakan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa dan kelas menengah yang tumbuh pesat, menjanjikan skala pasar yang masif dan prospek pertumbuhan yang tinggi. Kesenjangan ini mencerminkan kegagalan dalam menerjemahkan liberalisasi tarif formal yang dijamin oleh IA-CEPA menjadi arus modal dan perdagangan yang dinamis.

Fenomena serupa yang menunjukkan adanya diskoneksi antara komitmen dan capaian juga teramati pada bidang people-to-people links, yang seharusnya berfungsi sebagai urat nadi kemitraan strategis. Meskipun ada inisiatif program beasiswa yang didukung oleh kedua negara, seperti New Colombo Plan di Australia dan beasiswa LPDP di Indonesia, serta kedekatan geografis yang seharusnya memfasilitasi pertukaran, jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Australia (sekitar 17.500 pada tahun 2024) dan sebaliknya, serta kunjungan wisatawan, belum mencerminkan kedekatan geografis dan tingkat komitmen kemitraan yang tinggi. Kesenjangan kolektif ini secara jelas mengindikasikan bahwa hubungan bilateral masih terperangkap dalam ”paradoks potensi”, di mana deklarasi politik di tingkat kepala negara dan kerangka hukum internasional yang komprehensif belum berhasil menembus hambatan-hambatan non-tarif dan psikologis yang lebih dalam yang menghalangi interaksi substantif. Hambatan-hambatan tak kasat mata ini mencakup persepsi publik yang sering kali masih didominasi oleh narasi usang dan stereotip yang kurang akurat, tingkat pemahaman atau literasi tentang Indonesia yang masih rendah di kalangan komunitas bisnis dan masyarakat umum Australia, serta kompleksitas birokrasi dan regulasi di tingkat operasional yang tidak sepenuhnya terselesaikan oleh perjanjian payung di tingkat pusat. Perceived risk investasi, yang diakibatkan oleh kurangnya kejelasan hukum pada tingkat implementasi, seringkali lebih dominan daripada insentif formal yang ditawarkan IA-CEPA.

Diferensiasi Strategis dan Tantangan Lingkungan Keamanan

Lapisan analisis yang lebih dalam lagi mengungkap bahwa landasan kepercayaan strategis (strategic trust) yang telah susah payah dibangun melalui DCA dan IA-CEPA kini menghadapi ujian berat yang disebabkan oleh perbedaan fundamental dalam persepsi dan pendekatan terhadap lingkungan strategis Indo-Pasifik yang semakin bergejolak dan kompetitif. Australia, melalui langkah langkah kebijakan yang tegas seperti keikutsertaannya dalam AUKUS (persekutuan trilateral dengan Inggris dan Amerika Serikat yang diumumkan pada September 2021) dan melalui dokumen strategis Defence Strategic Review 2023, secara konsisten menunjukkan pendekatan yang lebih eksplisit dan langsung dalam menanggapi dinamika geopolitik, khususnya dalam menghadapi meningkatnya asertivitas Tiongkok di kawasan. Pendekatan ini secara inheren didasarkan pada penguatan aliansi tradisional dan konsep deterrence (pencegahan) yang kuat, menekankan kemampuan militer proyektif sebagai penjamin stabilitas regional.

Di sisi lain, Indonesia, yang secara historis berlandaskan politik luar negeri bebas-aktif dan diamanatkan oleh konstitusi untuk berpartisipasi dalam pemeliharaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, cenderung secara hati-hati menghindari keterikatan pada blok-blok kekuatan militer yang bersifat eksklusif dan lebih memilih pendekatan yang inklusif. Strategi Indonesia menekankan pada konsep ASEAN Centrality dan diplomasi jalur tengah, yang bertujuan untuk menjaga ruang otonomi strategis dan mendorong dialog terbuka. Perbedaan paradigma yang mendasar ini secara otomatis menciptakan ”kesenjangan strategis” yang nyata, di mana retorika yang didorong oleh kepentingan zero-sum terkait dengan dinamika persaingan kekuatan besar, seperti faktor Tiongkok, seringkali menjadi titik gesekan yang berpotensi menyebabkan salah tafsir, daripada menjadi titik temu untuk kerja sama yang kooperatif. 

Bagi Indonesia, kerjasama pertahanan dengan pihak manapun, termasuk yang difasilitasi dalam kerangka DCA 2021, harus dan wajib tetap konsisten dengan prinsip tidak memihak dan secara tegas ditujukan untuk peningkatan kapasitas penjagaan perdamaian, bantuan kemanusiaan, dan penguatan kedaulatan nasional, bukan untuk tujuan containment (pembendungan) terhadap kekuatan tertentu. Hal ini merupakan kepatuhan terhadap amanat hukum yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, yang menegaskan bahwa pertahanan negara bersifat semesta dan diarahkan untuk kepentingan nasional yang independen. Oleh karena itu, meskipun DCA adalah sebuah milestone penting, implementasinya dalam menghadapi risiko keamanan yang berkembang cepat, seperti isu Laut China Selatan, keamanan siber terhadap infrastruktur kritis, atau disinformasi yang merusak tatanan sosial, memerlukan kecerminan ekstra dan koordinasi yang intensif untuk memastikan alignment yang berkelanjutan dengan filosofi strategis nasional masing-masing yang berbeda.

Ekonomi dan Isu Global

Menyadari adanya perbedaan strategis yang mendasar dan sulit untuk dihilangkan dalam waktu singkat, jalan yang paling realistis, pragmatis, dan berkelanjutan untuk memperdalam kerja sama bilateral adalah dengan secara aktif mengidentifikasi dan memanfaatkan area-area konvergensi minat (convergence of interests) yang bersifat pragmatis dan memberikan manfaat nyata. Pendekatan yang didominasi oleh kekhawatiran geopolitik (zero-sum) terbukti tidak efektif sebagai pintu masuk bagi kerja sama bilateral atau regional yang lebih luas. Sebaliknya, kedua negara memiliki kepentingan bersama yang kuat dan fundamental dalam mencapai diversifikasi ekonomi, mengamankan rantai pasok global, dan penguatan ketahanan kolektif terhadap guncangan eksternal.

Satu bidang yang menawarkan potensi konvergensi yang sangat signifikan dan transformatif adalah kerja sama dalam rantai pasok mineral kritis, yang merupakan pendorong utama transisi energi global. Australia memiliki cadangan besar dan teknologi yang maju dalam pengolahan mineral kritis (seperti lithium, kobalt, dan nikel tanah jarang) yang sangat dibutuhkan oleh pasar global, sementara Indonesia memiliki cadangan nikel yang melimpah dan ambisi besar yang didukung kebijakan hilirisasi untuk mengembangkan industri baterai dan kendaraan listrik hilir. Kerja sama teknis dan investasi di bidang ini, yang dapat dilakukan secara legal di bawah payung IA-CEPA dan harus mematuhi kerangka regulasi dan insentif yang ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Minerba Indonesia, bukan hanya merupakan urusan ekonomi semata, melainkan juga isu strategis karena secara langsung berkontribusi pada pembentukan rantai pasok yang andal dan mengurangi risiko ketergantungan pada pasar tunggal yang rentan terhadap guncangan geopolitik. Kemitraan ini menawarkan peluang win-win yang nyata dan harus menjadi prioritas politik. Bidang konvergensi vital lainnya adalah ketahanan kesehatan pasca pandemi. Mengacu pada pengalaman bersama selama krisis COVID-19, kedua negara dapat memperdalam kerja sama penelitian bersama, memfasilitasi produksi vaksin dan obat-obatan esensial, dan meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi krisis kesehatan masa depan.

Dari People-to-People Hingga Kebijakan yang Disengaja

Untuk menerjemahkan konsep konvergensi minat yang telah diidentifikasi menjadi realitas yang terukur, diperlukan serangkaian aksi dan inisiatif kebijakan yang bersifat intentional policy (kebijakan yang disengaja) dan berkelanjutan, yang dieksekusi secara simultan di berbagai tingkatan. Pertama, di tingkat masyarakat, diperlukan investasi yang jauh lebih besar, terstruktur, dan sistematis untuk secara substansial meningkatkan ” di Australia dan sebaliknya. Hal ini tidak hanya berarti meningkatkan jumlah pertukaran pelajar melalui program New Colombo Plan Australia atau beasiswa LPDP Indonesia, tetapi juga berarti menciptakan insentif keuangan dan prosedural bagi jurnalis, profesional muda, dan seniman untuk menjalani residensi yang lebih lama. Program-program ini harus menghasilkan konten yang mendalam, terperinci, dan menghilangkan stereotip tentang negara mitra. Institusi seperti Perth USAsia Centre, melalui program fellowship yang didukung oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT), telah memulai langkah ini, namun skalanya perlu diperluas secara drastis untuk mencapai dampak pada tingkat masyarakat luas (grassroots level).

Kedua, di tingkat bisnis dan investasi, pemerintah harus mengambil langkah tegas untuk memfasilitasi ”demistifikasi” iklim investasi di Indonesia yang sering kali dipersepsikan memiliki risiko birokrasi yang tinggi oleh investor Australia. Ini dapat dilakukan melalui platform informasi satu pintu (one-stop information center) yang secara jelas, transparan, dan konsisten menjelaskan proses perizinan, insentif investasi, dan interpretasi regulasi yang diperbarui, terutama yang didasarkan pada Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja dan peraturan turunannya yang bersifat menyederhanakan. Tujuannya adalah untuk secara efektif mengurangi perceived risk operasional bagi investor Australia, yang sering kali menjadi penghalang yang lebih besar daripada hambatan tarif. 

Ketiga, di tingkat keamanan, implementasi DCA harus difokuskan pada capacity building yang bersifat netral dan tidak memiliki muatan geopolitik yang sensitif. Contohnya termasuk kerja sama maritim untuk penanggulangan bencana alam, peningkatan keamanan siber untuk perlindungan infrastruktur kritis bersama, dan kontra-terorisme, yang secara universal diakui sebagai kepentingan keamanan bersama. Program latihan bersama seperti Exercise Dawn Komodo dan Exercise Rifle harus terus diintensifkan dengan skenario yang relevan dengan tantangan kontemporer nontradisional. Setiap aksi ini harus dirancang secara teliti untuk membangun modal sosial dan kepercayaan operasional yang pada akhirnya akan memperkuat fondasi strategic trust yang telah ada, dengan basis hukum yang kuat dan tidak menimbulkan ambiguitas di kawasan.

Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi Strategis

Berdasarkan analisis terperinci mengenai kesenjangan, perbedaan strategis, dan potensi konvergensi minat, dapat dirumuskan beberapa rekomendasi kebijakan yang bersifat strategis dan operasional yang ditujukan bagi para pemangku kepentingan utama di kedua negara. Pertama, kedua pemerintah perlu bertindak secara proaktif untuk secara tegas mengidentifikasi dan mempromosikan minimal dua atau tiga proyek percontohan (flagship projects) dalam bidang mineral kritis atau pengembangan energi terbarukan yang memiliki visibilitas politik yang tinggi dan menjanjikan manfaat ekonomi langsung. Proyek-proyek ini harus didesain untuk melibatkan konsorsium bisnis terkemuka dari kedua negara dan harus mendapatkan dukungan politik serta fasilitasi regulasi tingkat tinggi, mungkin melalui mekanisme Joint Standing Committee yang telah dibentuk di bawah kerangka IA-CEPA, sebagai instrumen untuk memotong inersia birokrasi dan menjamin kecepatan implementasi.

Kedua, dalam menghadapi dinamika keamanan kawasan yang semakin kompleks, kedua negara harus secara konsisten menggunakan kerangka kerja ASEAN-led mechanisms sebagai platform utama untuk mendiskusikan dan mengelola isu-isu sensitif yang berpotensi memecah belah, daripada mengandalkan atau mengutamakan forum yang dipersepsikan bersifat eksklusif oleh pihak lain. Forum seperti KTT Asia Timur (East Asia Summit) dan Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN Plus (ASEAN Defence Ministers’ Meeting-Plus/ADMM-Plus) harus diintensifkan fungsinya sebagai ruang dialog yang inklusif dan transparan. Pendekatan ini secara eksplisit sejalan dengan prinsip ASEAN Centrality yang secara konsisten dijunjung oleh Indonesia dan secara formal diakui oleh Australia dalam dokumen Indo-Pacific Strategy-nya. Penggunaan platform ini memberikan dasar hukum dan legitimasi multilateral yang krusial bagi kerja sama keamanan.

Ketiga, untuk secara efektif mengikis persepsi publik yang usang dan asimetris, perlu dibentuk suatu ”Konsorsium Media dan Budaya” yang diinisiasi bersama oleh lembaga think tank terkemuka kedua negara, seperti Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Perth USAsia Centre. Konsorsium ini memiliki mandat untuk secara berkala memproduksi dan mempublikasikan konten analitis yang mendalam, terkurasi, dan berimbang tentang perkembangan sosial, politik, dan ekonomi mitra, yang secara khusus menyasar kalangan pembuat kebijakan, akademisi, dan publik umum yang berpengaruh. Tujuannya adalah untuk membanjiri ruang informasi publik dengan narasi yang lebih bernuansa dan berbasis fakta, mengatasi hambatan psikologis yang selama ini menghambat hubungan. 

Keempat, mobilitas orang perlu ditingkatkan secara drastis dan pragmatis dengan menyederhanakan prosedur visa untuk kategori pelajar, peneliti, dan profesional terampil. Pemerintah perlu secara serius mempertimbangkan untuk memperluas cakupan perjanjian mobilitas yang ada di bawah IA-CEPA dan mengalihkan fokus dari prosedur yang ketat ke insentif. Upaya-upaya ini memerlukan komitmen pendanaan yang besar dan berkelanjutan dari kedua pihak, mungkin melalui pembentukan dana abadi (endowment fund) yang dikelola bersama, yang secara spesifik didedikasikan untuk mendukung riset interdisipliner dan pertukaran profesional jangka panjang. Implementasi rekomendasi ini harus didukung oleh kajian hukum yang memastikan konsistensi dengan kebijakan imigrasi dan ketenagakerjaan masing-masing negara.

Menuju Kemitraan yang Lebih Dalam dan Tangguh

Hubungan Australia-Indonesia telah mencapai tingkat kedewasaan yang cukup tinggi, yang dimanifestasikan melalui pembangunan strategic trust dan pelembagaannya dalam kerangka hukum bilateral yang komprehensif, seperti IA-CEPA yang mengatur perdagangan dan investasi, serta DCA 2021 yang memberikan landasan bagi kerja sama pertahanan. Namun, sebagaimana telah dianalisis secara mendalam dalam naskah ini, hubungan ini masih berada dalam tahap kritis, yaitu tahap transisi dari sekadar pembangunan kepercayaan (trust-building) menuju realisasi kerja sama yang mendalam dan bermakna (trust-realization). Hambatan utama yang kini dihadapi bukan lagi ketiadaan kemauan politik atau absennya instrumen hukum formal, melainkan terletak pada faktor faktor yang lebih halus dan kompleks yang berakar pada tataran implementasi dan persepsi: perbedaan literasi kawasan yang asimetris, inersia birokrasi yang memperlambat investasi, dan perbedaan mendasar dalam pendekatan strategis terhadap ketidakpastian geopolitik kawasan Indo-Pasifik yang bergejolak.

Oleh karena itu, masa depan hubungan bilateral ini akan sangat bergantung pada kemampuan kolektif kedua negara untuk secara pragmatis beralih dari sekadar retorika kemitraan strategis ke eksekusi proyek-proyek konkret dan nyata di bidang-bidang di mana minat mereka bertemu, seperti ekonomi digital, pengembangan mineral kritis, ketahanan iklim, dan energi berkelanjutan. Keberhasilan ini harus dilakukan sambil secara bijak dan cerdas mengelola perbedaan yang tak terhindarkan dalam postur strategis terhadap kekuatan besar, dengan selalu mengedepankan prinsip hukum dan multilateralisme. Upaya transformatif ini menuntut kepemimpinan yang visioner, yang tidak hanya berasal dari entitas pemerintah dan diplomat, tetapi juga harus didukung dan digerakkan oleh sektor swasta yang ambisius, masyarakat sipil yang kritis, dan akademisi yang menghasilkan data berbasis bukti. Investasi jangka panjang dalam penguatan people-to-people links dan peningkatan literasi kawasan akan berfungsi sebagai penyangga sosial dan politik yang esensial, yang dapat mencegah hubungan ini dari keretakan saat menghadapi tekanan geopolitik yang lebih besar di masa depan. Jika Australia dan Indonesia dapat berhasil menerjemahkan kepercayaan strategis yang telah susah payah dibangun ini menjadi jaringan kerja sama ekonomi, keamanan, dan sosial-budaya yang lebih dalam dan saling terkait, maka mereka tidak hanya akan membangun hubungan bilateral yang jauh lebih tangguh dan berdaya tahan, tetapi juga secara signifikan berkontribusi terhadap stabilitas, kemakmuran, dan arsitektur keamanan yang inklusif di kawasan Indo-Pasifik yang menjadi rumah bersama. Tantangannya nyata, tetapi pilihan untuk bergerak maju dengan semangat pragmatisme dan komitmen jangka panjang adalah suatu keharusan strategis yang harus diwujudkan.

Penulis adalah Laksamana Muda TNI (Purn) Adv. Dr. Surya Wiranto, SH MH., Penasihat Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Anggota Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia, Dosen Program Pascasarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Indonesia, Ketua Departemen Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Sekretaris Jenderal IKAL Strategic Centre (ISC) dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Maritim Indonesia (IIMS). Beliau juga aktif sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator di firma hukum Legal Jangkar Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Facebook Twitter Instagram Linkedin Youtube