Peta Natuna
Oleh: Ericko Sinuhaji
Boomm..! Begitu kira-kira suara dahsyat yang dikeluarkan kapal perang KRI Imam Bonjol-383 milik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) saat menembak kapal nelayan China di area perairan Natuna sekitar medio bulan Juni lalu. Sebabnya tak sederhana, diperkirakan hingga dua belas kapal nelayan China saat itu memasuki perairan Indonesia dan melakukan penangkapan ikan secara ilegal di teritorial Indonesia.
TNI-AL pun berupaya menghentikan hal ini dengan mengerahkan kapal perangnya mengejar kapal-kapal tersebut dan tembakan peringatannya mengenai salah satu kapal penangkap ikan tersebut. Pasca insiden ini, silang pendapat antara pihak pemerintah China dan Indonesia di publik pun tak terhindarkan.
Berkenaan dengan masalah ini, masing-masing pihak mendalilkan pernyataannya di publik. China terus menerus mendalilkan bahwa daerah perairan Natuna merupakan wilayah tradisional penangkapan ikan mereka. Sementara bagi Indonesia hal ini amatlah jelas. Perairan Natuna adalah wilayah dibawah kedaulatan NKRI sehingga harus dipertahankan dari berbagai ancaman terutama untuk kekayaan atasnya. Masing-masing pihak menegaskan posisinya melalui diplomasi internasional. Sebuah amanat yang juga didukung dan dijalankan penuh oleh Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini, Susi Pudjiastuti.
Godaan Kekayaan Besar Perairan Natuna
Gara-gara ikan, dua negara ini bertikai potensi perikanan yang luar biasa besar di perairan Natuna sulit ditolak pihak manapun untuk mengeksploitasinya demi keuntungan besar. Disebut-sebut bahwa untuk potensi perikanan lestari saja mencapai 1,14 juta ton. Benar-benar menggiurkan bahkan bagi negeri sebesar China.
Tapi masalahnya kelihatannya semakin rumit. Sejauh ini tampaknya tidak ada tanda-tanda pihak China berusaha menghentikan keinginannya menjamah kekayaan laut Indonesia. Tak heran jika permasalahan mengenai operasi penangkapan ilegal China di perairan Indonesia bukan terjadi bulan Juni lalu saja. Tercatat, bentrokan di bulan Juni lalu bahkan adalah bentrokan ketiga sejak Maret silam.
Bentrokan-bentrokan yang terus terjadi itu tentu saja tidak menguntungkan dua belah negara. Terutama bagi Indonesia, republik ini tidak sedang membutuhkan energinya tersedot ke dalam suatu konflik dengan negara sebesar China mengingat fokus utama membangun perekonomian negeri dalam wujud pembangunan infrastruktur sedang digenjot besar-besaran di seluruh negeri. Beberapa diantaranya bahkan membutuhkan pendanaan China. Suatu kondisi yang dilematis bagi Indonesia.
Inisiatif Strategis Indonesia
Untuk itulah Indonesia perlu melakukan suatu inisiatif strategis agar masalah ini bisa diselesaikan tanpa berlarut-larut. Kita bisa mengingat bahwa beberapa bulan lalu masing-masing pihak telah melakukan kunjungan ke pihak lainnya untuk membahas masalah ini. Diawali dengan kunjungan perwakilan pemerintah China ke Indonesia, Indonesia melalui Menko Polhukam (saat itu), Luhut B. Pandjaitan, melakukan kunjungan balasan ke China sekitar akhir April tahun ini. Lansiran dari warta media menyatakan bahwa baik pihak Indonesia dan China menyepakati kerjasama dalam bidang penangkapan dan pengolahan perikanan.
Bagi Indonesia, kesepakatan ini tampak seperti memukul dua lalat dalam satu tepukan tangan. Indonesia ingin menghentikan perilaku China melakukan penangkapan ikan di territorial NKRI sekaligus menarik dana investasi mereka membangun perekonomian negeri ini lebih jauh. Dengan membolehkan mereka berinvestasi di sektor perikanan tangkap, maka dua kepentingan itu bisa tergapai sekaligus. Membaca arah pemerintahan sekarang ini, kita bisa tahu bahwa kesepakatan ini tinggal menunggu waktu untuk direalisasikan.
Dan waktu pelaksanaannya itu tampaknya telah tiba. Segera setelah Reshuffle jilid II, Luhut Pandjaitan—yang sekarang menjadi Menko Kemaritiman—pun segera mewacanakan ide tersebut ke publik. Menko Kemaritiman ini menginginkan agar sektor perikanan tangkap Indonesia dibuka untuk asing sehingga mereka bisa berpartisipasi membangun perekonomian dan menciptakan industri perikanan tangkap yang besar, sebagaimana besarnya potensi yang ada. Namun, barangkali di sisi lain kita bisa melihatnya berbeda, bahwa wacana ini sejatinya juga persis untuk mengakomodasi kesepakatan dengan China itu. Fakta yang terpampang terlalu sulit untuk kita abaikan.
Untuk menindaklanjuti wacana ini maka sasarannya jelas, revisi terhadap Daftar Negatif Investasi (DNI), aturan main mengenai investasi mana yang terbuka ataupun tertutup untuk pihak asing. Sejauh ini, berdasarkan Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2016 (Perpres DNI), sektor perikanan tangkap hanya diperbolehkan bagi modal lokal dan sepenuhnya tertutup bagi modal asing. Tentunya aturan ini harus berubah agar kemudian pihak asing bisa masuk sektor bisnis ini.
Sayangnya tidak semua pihak sepakat dengan wacana ini. Pukulan terbesar tentu datang dari Menteri Kelautan dan Perikanan yang terang-terangan menolak wacana ini. Menteri Susi bahkan sampai menegaskan akan mundur jika hal ini terealisasi. Argumentasi Menteri Susi sendiri mendasarkan bahwa sejatinya pihak asing telah mendapat ruang untuk berinvestasi di sektor pengolahan perikanan. Bahwa seharusnya perikanan tangkap menjadi jatah dari negeri ini untuk mengeksploitasi kekayaannya untuk kesejahteraan. Sebuah posisi sulit bagi Menko justru diberikan oleh Menteri yang tepat ada di bawah koordinasinya. Permasalahannya, sejauh ini performa Menteri Susi tampak sangat baik bagi publik sehingga pemerintah pastilah menjaga agar Menteri Susi tetap di posisinya.
Menarik untuk melihat bagaimana kelanjutan dari saga ini ke depannya. Mari kita lihat dengan seksama apakah langkah pemerintah untuk membuka sektor perikanan tangkap bagi asing merupakan langkah paling strategis dalam membangun perekonomian dan sekaligus mencapai kestabilan wilayah dari ancaman asing. Hingga akhirnya kekuatan ekonomi kita bisa segera melesat cepat menjadi kekuatan besar bagai bom. Mari kita pantau dan awasi bersama-sama seiring waktu. Pada akhirnya, satu hal harus terus menjadi pasti. Bahwa laut Indonesia adalah milik bangsa Indonesia dan peruntukannya semata-mata sebagaimana moto TNI-AL, Jalasveva Jayamahe yang artinya: justru di lautlah kita jaya!
Ericko Sinuhaji adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjadajran dan Peneliti di Padjadjaran Law Center (PLC).
Jakarta (Maritimnews) - Kolaborasi program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) antara PT Pelindo Regional…
Selain mengusung beberapa agenda seperti visi menjadi lembaga Think Tank teratas di Indonesia, acara juga…
Jakarta (Maritimnews) - PT Pelabuhan Indonesia (Persero) Pelindo Regional 2 Tanjung Priok menyatakan kesiapan penuh…
MN, Jakarta - Setelah meratifikasi Biodiversity Beyond National Jurisdiction (BBNJ) atau Keanekanragaman Hayati di Luar…
Medan (Maritimnews) - Subholding PT Pelindo Multi Terminal (SPMT) memastikan seluruh layanan terminal di berbagai…
Jakarta (Maritimnews) - Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) meninjau…