Published On: Sat, Nov 11th, 2017

Rencana Aksi KKI, Harapan dan Tantangan Pengelolaan Pelabuhan (I)

KKI harus menjawab Pengelolaan Pelabuhan di Indonesia

Oleh : Dedi Gunawan Widyatmoko, SE.*

MN – Untuk mensinergikan program-program di antara kementerian dan lembaga negara yang menangani sektor maritim, pemerintah baru-baru ini menerbitkan Peraturan Presiden No. 16 tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI). Pada Bab V Perpres tersebut, disusun 7 pilar yang menjadi inti dari KKI yaitu: Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia; Pertahanan, Kemananan, Penegakkan Hukum, dan Keselamatan di Laut; Tata Kelola Kelembagaan Laut; Ekonomi dan Infrastruktur Kelautan dan Peningkatan Kesejahteraan; Pengelolaan Ruang Laut dan Pelindungan Lingkungan Laut; Budaya Bahari; dan Diplomasi Maritim.

Mengingat begitu kompleks dan luasnya aspek dari KKI ini, maka Pemerintah membagi Rencana Aksi dari KKI ini menjadi 5 klaster program prioritas yang meliputi: Batas Maritim, Ruang Laut, dan Diplomasi Maritim; Industri Maritim dan Konektivitas Laut; Industri Sumber Daya Alam dan Jasa Kelautan serta Pengelolaan Lingkungan Laut; Pertahanan dan Keamanan Laut; dan Budaya Bahari.

Dari Rencana Aksi KKI ini, kita bisa melihat adanya upaya yang sangat serius dan terencana dari Pemerintah untuk mengintegrasikan KKI dalam menghilangkan ego sektoral yang selama ini menjadi hambatan terbesar pada upaya memajukan sektor kelautan.

Semua pihak dilibatkan dalam Rencana Aksi ini dengan perannya masing-masing yang diatur secara detail. Hal ini menumbuhkan harapan dan optimisme akan segera terwujudnya visi Indonesia sebagai “Poros Maritim Dunia”.

Di lain pihak, Rencana Aksi KKI ini belum menjawab secara pasti dan jelas masalah-masalah dasar yang perlu diselesaikan dalam pengelolaan kelautan di Indonesia. Salah satunya adalah pengelolan pelabuhan. Pengelolaan pelabuhan selama ini menghadapi beberapa tantangan seperti tingginya biaya jasa pelabuhan dan potensi konflik antara PT Pelindo dengan Pemerintah Daerah.

Visi mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia memang tidak mudah seperti membalikan telapak tangan. Perwujudan visi ini membutuhkan perencanaan, kajian, diskusi dan dedikasi semua pihak. Sebagai bagian dari upaya itulah, maka tulisan ini akan mengkaji harapan dan tantangan dari Rencana Aksi KKI untuk menjawab salah satu permasalahan yaitu pengelolaan pelabuhan.

Tingginya biaya jasa Pelabuhan

Wakil ketua umum Indonesian National Ship Owner Association (INSA), Asmari Hery, pada tahun 2013 kepada kontan.co menyatakan bahwa biaya di pelabuhan-pelabuhan Indonesia mencapai 60 % dari total biaya. Hal ini senada dengan release Bappenas pada satu dekade sebelumnya (2005) yang menyatakan bahwa biaya Terminal Handling Charges (THC) di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta adalah tertinggi di Asia setelah Hongkong.

Padahal biaya sewa lahan dan upah tenaga kerja di Jakarta jauh lebih murah (Bappenas, 2005). Dua data ini memberi kesimpulan bahwa biaya jasa pelabuhan-pelabuhan di Indonesia masih tergolong mahal karena operator-operator pelabuhan tersebut masih belum efisien dalam menjalankan bisnis jasanya.

Kementerian Perdagangan pada rapat kerja tahun ini (2017) memberikan data bahwa perbandingan total cost transportasi laut dari Tanjung Priok (Jakarta) per kontainer adalah sebagai berikut (dalam USD): Tj Priok – Guangzhou (China): 400, Tj Priok – Singapore: 185, Tj Priok – Padang: 600, Tj Priok – Banjarmasin: 650 dan Tj Priok – Jayapura: 1000 (Kemendag, 2017).

Dari data itu dapat dilihat bahwa biaya pengiriman barang dari Tanjung Priok ke Jayapura 2 kali lipat lebih mahal dari biaya Tanjung Priok ke Guangzhou. Dari total biaya ini, harus diingat bahwa hampir 60 % dari total biaya adalah biaya-biaya jasa di pelabuhan seperti apa yang disampaikan oleh Wakil Ketua Umum INSA di atas.

Apabila dikaitkan dengan persaingan global di kawasan regional, ketidakefisienan ini membuat jasa pelabuhan di Indonesia kalah bersaing dengan pelabuhan internasional lainya di kawasan Asia Tenggara. Tingginya biaya pelabuhan ini sudah pasti membuat pengguna jasa lebih memilih pelabuhan yang lebih kompetitif misalnya Singapura dan Malaysia daripada pelabuhan-pelabuhan di Indonesia.

Selain faktor kedalaman alur, ketersediaan dermaga dan kecepatan waktu bongkar muat, tingginya biaya jasa kepelabuhanan masih menjadi pertimbangan pengusaha pelayaran internasional dalam memilih tempat sandar kapal-kapalnya.

Untuk pelayaran domestik, pengusaha-pengusaha pelayaran nasional merasa sangat terbebani dengan tingginya biaya jasa pelabuhan ini. Tingginya biaya pelabuhan menambah permasalahan biaya transportasi laut selain yang sudah dihadapi sebagai konsekuensi negara kepulauan dengan tidak berimbangnya jumlah muatan antar pulau.

Sudah menjadi hal biasa untuk pelayaran antar pulau di Indonesia mengangkut kontainer kosong akibat tidak adanya muatan balik. Tingginya biaya jasa pelabuhan dan seringnya kapal membawa kontainer kosong adalah dua hal yang menyebabkan kurang efektifnya transportasi laut di Indonesia.

Menyikapi situasi ini, hal yang bisa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pelayaran Indonesia adalah mengefisiensi usaha dan perbaikan manajemen. Perusahaan pelayaran yang tidak bisa melakukan dua hal tersebut akan berpotensi merugi.

Ada beberapa pelayaran nasional yang sudah gulung tikar salah satunya PT Alken yang tutup di awal tahun 2017. Hal itu menjadi bukti betapa tipisnya profit margin dari usaha pelayaran akhir-akhir ini.

Upaya-upaya untuk efisiensi pengelolaan pelabuhan di Indonesia sudah dilakukan dengan disahkanya UU Pelayaran No. 17 tahun 2008 yang memperjelas pemisahan peran regulator dengan peran operator pelabuhan. Regulator sebagai perwakilan pemerintah di Pelabuhan dipegang oleh Otoritas Pelabuhan untuk pelabuhan komersial, Unit Pengelola Pelabuhan untuk pelabuhan non komersial dan Kantor Syahbandar yang menangani perihal keamanan dan keselamatan pelayaran (pada pelabuhan selain Pelabuhan Utama, Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan jadi satu dalam Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP).

Operator Pelabuhan adalah Badan Usaha Pelabuhan (BUP) yang memberikan jasa kepelabuanan di antaranya jasa pemanduan, jasa bongkar muat (stuffing dan stripping), penumpukan di depo menunggu dimuat ke kapal, pemindahan kontainer dari depo ke lapangan penumpukan (container yard) dll. PT Pelindo adalah salah satu BUP yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan masih mendominasi pelayanan jasa-jasa pelabuhan di Indonesia saat ini.

Untuk menciptakan kompetisi yang sehat, UU Pelayaran memberikan kesempatan yang luas kepada pihak swasta sebagai BUP untuk menjadi operator pelabuhan dengan mengajukan hak konsesi (sewa) lahan/wilayah pelabuhan kepada Otoritas Pelabuhan. Dalam hal ini, Otoritas Pelabuhan akan mendapatkan pemasukan dengan prosentase sesuai perjanjian untuk disetorkan kepada negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Fakta-fakta di atas memberikan gambaran bahwa komponen biaya jasa pelabuhan banyak ditentukan oleh peran regulator pelabuhan, dalam hal ini instansi pemerintah di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla). Sedangkan seberapa efisien pelayanan jasa pelabuhan ditentukan oleh penentuan nominal harga pelayanan jasa-jasa tersebut oleh operator pelabuhan.

Dalam hal ini masih di dominasi oleh salah satu BUMN, yakni PT Pelindo (I, II, III dan IV). Dapat disimpulkan bahwa masih tergolong tingginya biaya jasa pelabuhan di Indonesia selain dibentuk oleh faktor-faktor ekonomi juga ditentukan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah sendiri melalui dua instansi tersebut.

Potensi konflik antara PT Pelindo dengan Pemerintah Daerah

Reformasi 1998 yang memperjuangkan adanya pemerintahan yang bersih dari praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) banyak membawa perubahan tata kelola pemerintahan yang salah satunya adalah adanya desentralisasi atau Otonomi Daerah (Otoda). Pemerintah Kabupaten/Kota diberi kewenangan yang sangat signifikan dalam menentukan banyak kebijakan di daerahnya masing-masing. Kewenangan pengelolaan sebagian wilayah laut juga menjadi salah satu hal yang didelegasikan ke Pemerintah Daerah.

Sebagai akibat dari Otonomi Daerah ini, Pemerintah Kabupaten/Kota berlomba meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk biaya pembangunan dan kesejahteraan daerah masing-masing. Untuk upaya ini, beberapa Pemerintah Daerah ingin berpartisipasi lebih besar dalam pengelolaan pelabuhan dan memberikan jasa lewat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hal ini memunculkan konflik kepentingan dalam penyusunan Rencana Induk Pelabuhan antara Pemerintah Daerah, Regulator dan pihak Operator Pelabuhan yang dalam hal ini yang masih didominasi PT Pelindo (BUMN).

Rencana Induk Pelabuhan membagi daerah pelabuhan menjadi dua yaitu: Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) yang meliputi area dimana pelabuhan melaksanakan aktifitasnya dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) yang mencakup daratan dan perairan yang lebih luas. DLKp mencakup area di mana akan menjadi proyeksi pengembangan pelabuhan dalam jangka panjang. Daratan dan perairan yang masuk dalam DLKr dan DLKp dikuasai oleh negara dan diatur oleh penyelenggara Pelabuhan (Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan).

Ada beberapa usaha di pelabuhan yang di beberapa daerah ingin dikelola oleh BUMD di antaranya sewa depo kontainer dan jasa bongkar muat. Penyusunan Rencana Induk Pelabuhan menjadi sangat crucial karena akan mengalokasikan tempat-tempat untuk depo kontainer.

Status tanah yang akan menjadi obyek pengembangan pelabuhan menjadi sangat penting berkaitan dengan hak dan kewenangan atas tanah tersebut. Untuk jasa bongkar muat, PT Pelindo selaku BUMN bersaing dengan BUMD memperebutkan market. Pada banyak daerah, PT Pelindo lebih dominan karena kekuatan permodalan, luasnya jaringan dan pengalaman dalam bidang ini yang sudah puluhan tahun.

Sebagaimana BUMD terhadap Pemerintah Daerah, PT Pelindo sebagai BUMN juga dituntut untuk memberikan laba kepada Pemerintah Pusat. Hal ini mengakibatkan PT Pelindo tidak ingin melepas usaha-usahanya dan tetap mempertahankan dan terus berusaha meningkatkan profit. Penilaian kinerja dari Kepala Cabang (Kacab) PT Pelindo di daerah juga sering diukur dari seberapa sukses Kacab tersebut bisa meningkatkan laba dari tahun sebelumnya (profit oriented).

Untuk lebih memahami permasalahan, kita bisa melihat UU Otda pasca Reformasi yang dibuat pada tahun 1999 (UU no 22/1999) kemudian direvisi pada tahun 2004 (UU no 32/2004) dan terakhir adalah disahkanya UU No 23 tahun 2014. Pada UU Otda tahun 1999 dan 2004, kewenangan pengelolaan laut 0–4 Nm dari daratan diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Provinsi diberi kewenangan mengelola wilayah laut antara 4–12 Nm dari daratan.

Pengaturan kewenangan ini kemudian direvisi dalam UU Otda 2014 pasal 27 yang memberikan kewenangan kepada provinsi untuk mengelola laut keseluruhan antara 0 –12 Nm dan meniadakan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota. Kewenangan ini berkaitan erat dengan penyusunan perencanaan tata ruang laut secara nasional.

Khusus mengenai pengaturan pengelolaan pelabuhan bisa kita lihat pada UU No 17/2008 pasal 70 yang membedakan jenis-jenis pelabuhan menjadi tiga yaitu: Pelabuhan utama (melayani angkutan dalam negeri dan internasional), Pelabuhan pengumpul (melayani angkutan dalam negeri dalam jumlah menengah antar provinsi) dan Pelabuhan pengumpan (melayani angkutan dalam negeri dalam jumlah terbatas dalam satu provinsi).

UU no 17/2008 juga mengamanatkan penetapan Rencana Induk Pelabuhan Nasional (RIPN) yang merupakan kompilasi dari seluruh Rencana Induk Pelabuhan di Indonesia. Kewenangan penetapan Rencana Induk Pelabuhan ini diberikan kepada Menteri untuk Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul sedangkan untuk Pelabuhan Pengumpan penetapan menjadi kewenangan Gubernur atau Bupati/Walikota. Rencana Induk Pelabuhan juga harus sesuai dengan Rencan Tata Ruang dan Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Dengan membandingkan aturan-aturan pada UU Otda 2014 dan UU Pelayaran 2008 di atas, maka kita bisa melihat masih perlunya penyelarasan aturan berkaitan dengan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota. Undang-Undang Pelayaran 2008 masih memberi kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menetapkan Rencana Induk Pelabuhan Pengumpan yang mana dalam UU Otda 2014, perencanaan tata ruang laut 0–12 Nm diserahkan keseluruhan kepada Pemerintah Provinsi sebagai perwakilan Pemerintah Pusat di daerah.

Kekurang jelasan aturan ini akan membuat potensi konflik antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan PT Pelindo, kemungkinan terus berlanjut. Perlu adanya revisi UU Pelayaran menyesuaikan dengan UU Otda 2014.

Bersambung……………..(bagian II)

 

*Penulis adalah Siswa Program Master of Maritime Policy di ANCORS (The Australian National Centre for Ocean Resources and Security), University of Wollongong, Australia. Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak mewakili instansi manapun.

 

About the Author

- Redaktur Maritimnews.com Penulis Kajian Kemaritiman Indonesia

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com