Published On: Tue, Jun 8th, 2021

Pak Harto dan Maritim

Dok Foto: Istimewa

Maritimnews – Presiden RI kedua Soeharto merupakan sosok fenomenal di negeri ini. Orang yang berkuasa selama 32 tahun itu menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan sejarah bangsa.

Hari ini, tepat satu abad usia Soeharto (8 Juni 1921-8 Juni 2021). Soeharto wafat pada usia 86 tahun, tanggal 27 Januari 2008. Di mata para penggiat maritim, Soeharto merupakan orang yang dianggap telah menggeser paradigma maritim ke paradigma daratan.

Berbagai tudingan mengalir deras kepadanya. Namun perlu dicatat beberapa sisi yang sekiranya patut dicontoh untuk menjadi landasan kita dalam membangun negara maritim yang besar saat ini.

Selain menjadi satu-satunya presiden yang hobi memancing di laut, Pak Harto (panggilan akrabnya) juga memiliki kebijakan strategis dalam mengusung negara Indonesia sebagai negara maritim yang besar dan disegani.

Pak Harto resmi menjadi Presiden RI pada tahun 1968 yang sebelumnya sebagai Pejabat Presiden pada tanggal 7 Maret 1967 oleh MPRS. Mengawali karir militernya di KNIL (pasukan Belanda) dan PETA (tentara sukarelawan Indonesia di zaman Jepang, Pak Harto tampil dalam beberapa peristiwa sejarah di masa Revolusi Fisik (1945-1949).

Di era 1950-an, ia beberapa kali memimpin penumpasan pemberontakan daerah, di antaranya Andi Azis di Makassar, RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku dan DI/TII di Jawa Tengah. Saat konfrontasi antara Indonesia dengan Belanda masalah Irian Barat, Pak Harto didapuk oleh Presiden Soekarno sebagai Panglima Mandala, Komando Operasi Pembebasan Irian Barat.

Setelah menjadi Presiden RI, beberapa Perjanjian Bilateral tentang perbatasan laut dengan negara tetangga dilakukan. Meskipun hingga kini masih meninggalkan PR (pekerjaan rumah-red) yang rumit mengenai perbatasan laut itu, namun karena kewibawaan dan kepemimpinannya, negara lain pun benar-benar menghargai kedaulatan Indonesia atas lautnya.

Misalnya saat melakukan Perjanjian Bilateral dengan Malaysia mengenai batas laut di Selat Malaka tahun 1969. Berdasarkan UU No 4 Prp tahun 1960 sebagai kelanjutan dari Deklarasi Djuanda, Indonesia telah menentukan titik dasar batas wilayah lautnya sejauh 12 mil. Sebagai implementasi dari UU tersebut, beberapa bagian perairan Indonesia yang jaraknya kurang dari 12 mil laut, menjadi laut wilayah Indonesia. Termasuk wilayah perairan yang ada di Selat Malaka.

Malaysia saat itu juga mengumumkan bahwa lebar laut wilayahnya menjadi 12 mil laut, diukur dari garis dasar yang ditetapkan menurut ketentuan-ketentuan konvensi Jenewa 1958 (mengenai Laut Wilayah dan Contigous Zone), sehingga timbul persoalan. Yaitu letak garis batas laut wilayah masing-masing negara di Selat Malaka (di bagian yang sempit) atau kurang dari 24 mil laut. Kemudian batas Landas Kontinen antara Indonesia dan Malaysia ditentukan berdasarkan garis lurus yang ditarik dari titik bersama ke titik koordinat yang disepakati bersama pada 27 Oktober 1969.

Atas pertimbangan tersebut, dilaksanakan perundingan (Februari-Maret 1970) yang menghasilkan perjanjian tentang penetapan garis Batas Laut Wilayah kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik koordinat tersebut ditetapkan berdasarkan Garis Pangkal di masing-masing negara.

Kendati tidak sehebat Bung Karno dalam mempengaruhi gagasan kepada negara lain yang mencakup Asia-Afrika dan Non Blok, pada era Soeharto, Indonesia mampu menginisiasi berdirinya ASEAN pada 8 Agustus 1967. Secara tidak langsung, Indonesia menjadi pemegang di kawasan ini. Dilansir dari Samudranesia, seorang Pengamat Intelijen senior pernah menuturkan pada masa Soeharto, PM Malaysia Mahatir Mohammad dan PM Singapura Lee Kuan Yew pernah “sungkem” di Cendana.

Abdul Rachman Ramly, (liason officer RI pada kasus Usman-Harun) dalam memoarnya menuturkan soal kunjungan Lee Kuan Yew ke Indonesia pasca bersitegang hubungan Indonesia-Singapura terkait dihukum matinya anggota KKO Usman dan Harun tahun 1968.

Tiga tahun setelah insiden itu, Lee Kuan Yew merencanakan kunjungan ke Indonesia. Soeharto lantas mengajukan syarat, “Lee harus menaburkan bunga di makam Harun dan Usman di Taman Makam Pahlawan Kalibata”. Hal itu akhirnya disetujui Lee. Kendati Usman dan Harun dicap sebagai teroris di Singapura, namun pimpinannya justru berziarah di makamnya.

Ditetapkannya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 10 Desember 1982 di Jamaika merupakan perjuangan bangsa Indonesia sebagai negara Kelautan yang menuju negara maritim yang besar sejak Deklarasi Djuanda 1957. Adam Malik dalam Buku Mengabdi Republik tahun 1980, mengisahkan perjuangan UNCLOS 1982 atas instruksi Soeharto kepada Menlu Mochtar Kusumaatmadja. Sang Menlu pun akhirnya segera menyusun persiapan untuk bertempur dalam konvensi yang diselenggarakan oleh PBB tersebut.

Setelah selesai Sidang MPR tahun 1983 dan penyelesaian konflik Tanjung Priok 1984 serta pembahasan di tingkat DPR, hukum internasional itu baru diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS. Alhasil luas wilayah RI pun bertambah setelah penetapan UNCLOS ini.

Tidak seperti yang sering disebutkan oleh khalayak luas, bahwa masa Pak Harto tidak memperhatikan sama sekali Angkatan Laut Indonesia, semua hanya berfokus pada Angkatan Darat. Tentunya anggapan itu perlu diluruskan, karena ada beberapa catatan yang justru pada masa itu menempatkan Angkatan Laut jadi prioritas. Secara politis, (Alm) Laksamana (Purn) Sudomo pernah diamanatkan menjadi Menkoplhukam dan Panglima Komando keamanan dan Ketertiban (Pangkokamtib), suatu jabatan yang boleh dibilang memiliki prestis di zaman itu.

Dalam tingkat operasi, tercatat operasi amfibi oleh Korps Marinir TNI AL terbesar terjadi saat Operasi Seroja ke Timor Timur (sekarang Timor Leste). TNI AL berperan aktif dalam operasi pendaratan pasukan, operasi darat gabungan, dan pergeseran pasukan melalui laut.

Dalam operasi ini, BTR-50 yang dilibatkan berasal dari BTP (Batalyon Tim Pendarat)-5/Infantri. Selain melibatkan BTR-50 sebagai panser amfibi, komponen BTP-5 juga diperkuat tank amfibi PT-76 dan elemen artileri seperti howitzer D-30 kaliber 122 mm, serta mortir sedang kaliber 81 mm. Dalam operasi Seroja ini, BTP-5/Infantri dikomandani  oleh Letkol (Mar.) Achmad Sediono.

Pak Harto melalui Menristek BJ Habibie sudah berfikir untuk menciptakan kemandirian alutsista dengan membentuk Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS). Gagasan kemandirian Alutsista sudah terpatri kala itu dengan mendorong beberapa BUMN strategis Indonesia seperti IPTN, PT PAL Indonesia, PT Pindad, PT LEN dan sebagainya untuk diproyeksikan menjadi leading sector dalam membangun kemandirian alutsista.

Mantan Menteri Kelautan pertama di era Presiden Gus Dur, Sarwono Kusumaatmadja pernah menyatakan begitu pahamnya Soeharto mengenai posisi strategis Indonesia dalam persilangan dunia. Dalam posisi itu, Indonesia memiliki bargaining politik yang bagus.

“Pernah suatu ketika di masa Pak Harto mau mengadakan latihan gabungan besar-besaran di Selat Lombok, lalu Amerika beserta negara-negara lain panik. Kita tahu Selat Lombok merupakan jalur pelayaran internasional, maka otomatis akan ditutup,” ungkap Sarwono.

Sarwono menambahkan, “Meskipun Amerika sudah mengontak Pak Harto untuk segera diurungkan rencana Latgab tersebut, namun Smiling General ini tidak memperdulikan, Latgab pun tetap terjadi”.

Nilai-nilai seperti itu sudah selayaknya dipertahankan saat kita hendak menjadi negara maritim yang besar dan disegani. Salah satu syaratnya ialah adanya Ocean Leadership yang dimiliki oleh Sang Pemimpin begitu juga mental dan keberaniannya.

Dalam berbagai event, semasa kepemimpinannya, Pak Harto sudah buktikan itu meskipun masih banyak kekurangannya dalam berbagai sisi. Di akhir masa jabatannya sebagai Presiden RI, pak Harto sempat mencanangkan konsep Benua Maritim Indonesia. Pembentukan Dewan Maritim pun telah dirancang.

Namun hingga Reformasi 1998, gagasan itu kandas seiring perubahan politik dalam negeri. Walaupun sempat diteruskan di era Presiden Habibie dan Abdurrachman Wahid,  namun cita-cita negara maritim selalu gagal di tengah jalan.

Cita-cita itu mulai berkobar kembali setelah dilantiknya Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden RI ketujuh pada 20 Oktober 2014. Tetapi dalam perjalanannya, visi itu tak seindah dengan apa yang dijanjikan pada masa kampanye dan Pidato Pelantikan di hadapan MPR pada 20 Oktober 2014.

Sudah seharusnya upaya pencapaian menjadi negara maritim yang besar dan disegani terus berlanjut pada pemimpin-pemimpin bangsa berikutnya dengan tetap berada pada lintasan yang semestinya, yakni Pancasila dan UUD 45 yang asli, murni, dan konsekuen. (*)

 

About the Author

- Akun ini merupakan akun milik tim redaksi MaritimNews.com dan dikelola oleh tim. akun twitter @MaritimNewsCom

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com