Nelayan Andon Ilegal Masih Marak di Laut Arafura
Jakarta (Maritimnews) – Perbaikan tata kelola perikanan tangkap masih menghadapi tantangan besar. Salah satu yang mengemuka adalah maraknya nelayan andon yang beroperasi tanpa perjanjian dan izin resmi di Laut Arafura atau Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 718.
Kapasitas pengawasan laut oleh pemerintah provinsi yang lemah turut berkontribusi pada berkembangnya praktik ini. Akibat kegiatan nelayan andon ilegal ini, pendataan hasil tangkapan, pungutan pajak dan retribusi menjadi tidak optimal. Keberadaan nelayan andon ini juga berpotensi menimbulkan konflik sosial antar nelayan lokal dan nelayan andon.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia M. Abdi Suhufan mengatakan bahwa pihaknya menerima informasi dan laporan beroperasinya kapal ukuran di bawah 30 GT yang melakukan penangkapan ikan lintas provinsi tanpa Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) Andon di laut Arafura.
“Kami memperkirakan ada sekitar 300-an kapal ikan dengan ukuran di bawah 30GT yang beroperasi lintas provinsi dari Maluku ke Papua” kata Abdi kepada Maritimnews, Jumat (4/6).
Menurut dia, kapal-kapal tersebut beroperasi dengan SIUP provinsi Maluku atau tanpa SIPI tapi beroperasi dan sandar di pelabuhan provinsi Papua tepatnya di Merauke.
“Sejauh ini belum ada perjanjian andon antara provinsi Maluku dan Papua, sehingga keberadaan kapal tersebut bisa dikategorikan melakukan pelanggaran zona tangkap dan pelanggaran SIPI,” tambahnya.
Selain diduga tidak memiliki SIPI Andon, kapal tersebut mayoritas berlabuh dan bongkar muatan di pelabuhan tidak resmi atau pelabuhan tangkahan.
“Praktik ini bisa berlangsung karena kapasitas pengawasan perikanan oleh provinsi Papua masih sangat lemah sehingga tidak bisa melakukan pengawasan terhadap keberadaan kapal ikan lintas provinsi tersebut,” ungkapnya.
Selain itu, kegiatan bongkar ikan kapal andon di pelabuhan tangkahan atau pelabuhan ilegal di sekitar Merauke mengakibatkan hasil tangkapan tidak terdata dan terlapor dengan baik.
“Pelanggarannya berlapis tapi pemerintah membiarkan,” tegas Abdi.
Sementara itu, peneliti DFW Indonesia, Muh Arifuddin mendorong Kementerian Kelautan dan Perikanan agar ikut menangani masalah ini dengan memfasilitasi perjanjian andon antar provinsi Papua dan Maluku.
“Ketentuan Permen KP No.36/2014 tentang Andon, belum dilaksanakan secara optimal oleh Gubernur, Bupati dan Walikota, sehingga peran fasilitasi KKP masih sangat dibutuhkan,” kata Arif.
Dirinya mengkhawatirkan maraknya nelayan andon di WPP 718 akan berakibat pada meningkatnya praktik dan penangkapan ikan yang ilegal.
“Narasi pengelolaan perikanan berbasis WWP yang selama ini dijanjikan oleh pusat, akan berhadapan dengan praktik penangkapan ikan oleh kapal kecil termasuk andon dan ini harus ditangani dengan baik,” jelas Arif.
Ia berharap isu ini agar segera ditangani dengan baik karena berimplikasi pada pengawasan, pencatatan dan pelaporan hasil tangkapan, pajak dan retribusi serta sentimen atau dampak sosial.
“Keterlambatan KKP mengimplementasikan konsepsi pengelolaan berbasis WPP akan menimbulkan kerugian yang makin besar bagi pengelolaan perikanan nasional,” tandasnya. (*)