Pemerintah Dituntut Carikan Solusi Kenaikan Harga BBM untuk Nelayan
Jakarta (Maritimnews) – Pemerintah belum menemukan solusi konkret atas kelangkaan BBM nelayan yang terjadi hampir dua bulan ini. Nelayan dan pemilik kapal pada sejumlah daerah masih melaporkan mahal dan langkanya harga BBM jenis solar yang sangat dibutuhkan untuk melaut menangkap ikan. Sejauh ini pemerintah seperti menemui jalan buntu atas problem ini.
Padahal urusan BBM nelayan setidaknya ditangani oleh tiga kementerian yaitu Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, ditambah Pertamina dan BPH Migas. Kondisi ini merupakan dampak dari tata kelola perikanan yang dilakukan secara parsial, tidak terintegrasi dan tambal sulam.
Manager National Fishers Center Destructive Fishing Indonesia, Imam Trihatmadja mengatakan bahwa pihaknya menerima pengaduan dari nelayan di Dobo, Kepulauan Aru, Maluku dan Bitung Sulawesi Utara.
“Harga solar di Dobo minggu ini telah mencapai Rp 19.500, naik dari harga normal Rp 11.000” kata Imam. Sementara di kota Bitung harga solar bersubsidi telah naik dari Rp 5.150 menjadi Rp 8.500,” ucap Imam kepada Maritimnews, Jumat (5/8).
Imam mengatakan bahwa BBM bersubidi untuk nelayan di kota Bitung sangat tidak mencukupi. “Rata-rata tanggal 15 setiap bulan, BBM subsidi untuk nelayan sudah habis dan mereka akhirnya membeli BBM non subsidi,” kata Imam.
Imam menyayangkan kelambanan pemerintah menyikapi permasalahan nelayan dan pemilik kapal atas kelangkaan BBM. Sampai saat ini belum ada statement atau keterangan resmi dari Menko Marves atau Menteri Kelautan dan Perikanan yang menjelaskan hasil identifikasi masalah dan langkah-langkah yang akan diambil oleh pemerintah guna menyelesaikan masalah ini.
“Sepertinya para Menteri bidang koordinasi kemaritiman sibuk dengan agenda G20 dan melupakan kesulitan dan penderitaan nelayan yang kesulitan BBM,” kata Imam lagi.
Dia meminta presiden Jokowi turun tangan dengan menegur para Menteri yang segera menyelesaikan masalah BBM nelayan. “Mungkin para Menteri harus menunggu perintah Presiden, padahal nelayan dan pelaku usaha telah lama menjerit atas masalah BBM,” ungkapnya.
“Sayangnya responsibilitas sejumlah Menteri bidang kemaritiman tidak kelihatan dalam menyikapi masalah ini,” tambahnya.
Sementara itu, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia, Moh Abdi Suhufan mengatakan akibat mahalnya harga BBM membuat pelaku usaha perikanan yang terdiri dari pemilik kapal, koperasi dan perusahaan mensiasati sistem operasional penangkapan ikan.
“Biaya operasional kapal ikan naik tinggi sehingga pemilik kapal mengurangi volume keberangkatan kapal penangkap ikan dengan menggunakan sistim bergilir,” kata Abdi.
Sistem bergilir ini dapat membantu pemilik kapal menghemat biaya produksi tapi menekan ABK karena waktu bekerja menjadi tidak pasti. “Akhirnya ABK menganggur dan tidak mendapatkan upah karena perjanjian kerja berlaku jika kapal telah meninggalkan Pelabuhan,” ujar Abdi.
Abdi memberikan analisis kelangkaan dan mahalnya harga BBM nelayan disebabkan kurangnya kuota yang tersedia dibandingkan dengan jumlah kapal penangkap ikan saat ini.
“Kemungkinan formula perhitungan dan penentuan alokasi BBM untuk kegiatan perikanan tangkap tidak berdasarkan jumlah data kapal yang yang sebenarnya,” jelasnya.
Lanjut dia, data ini menjadi masalah mendasar yang tidak bisa diselesaikan sejak oleh KKP. Akibatnya terjadi gap antara kebutuhan dan alokasi BBM bagi kegiatan perikanan tangkap termasuk BBM bersubsidi.
Terkait dengan persoalan teknis yang mengemuka seperti salah sasaran, distribusi yang tidak lancar, penyelundupan, minimnya sarana dan prasarana dan permainan sejumlah oknum pihaknya meminta pemeritah membentuk tim pemantau.
“Selanjutnya pemerintah perlu merumuskan rencana aksi jangka pendek dan menengah untuk mengatasi ini dengan menghitung semua aspek dari hulu ke hilir agar masalah ini dapat diselesaikan secara tuntas dan tidak berlarur-larut,” pungkas Abdi. (*)