Mengapa Nelayan (Masih) Susah?
Oleh: M. Zulficar Mochtar*
United Nations General Assembly (UNGA) telah mendeklarasikan tahun 2022 sebagai International Year of Artisanal Fisheries and Aquaculture (IYAFA). Tujuannya adalah mendorong semua pihak untuk memberikan perhatian khusus pada nelayan kecil, pembudidaya ikan, dan pekerja perikanan. Profesi yang berkontribusi sangat besar dalam ketahanan pangan, namun kehidupannya sangat rentan dan sering terlupakan.
Konteks ini sangat relevan dengan situasi di Indonesia. Indonesia adalah salah satu negara produsen ikan terbesar dunia, dengan lebih 96% nelayannya skala kecil, namun tingkat kesejahteraannya relatif paling terbatas.
Kalau diamati di lapangan, memang ada beberapa hal fundamental yang sering dilupakan ketika berbicara nelayan. Yang selanjutnya berkontribusi pada berbagai kegagalan kebijakan dan program.
Profesi Paling Berisiko
Menurut International Labour Organization (ILO), nelayan adalah profesi yang paling berbahaya di dunia. Tingkat kecelakaan dan kasus cukup tinggi sepanjang tahun. Bahkan hasil study Fish Safety Foundation (2022) memperkirakan kematian terkait perikanan secara global mencapai 100.000 kasus setiap tahun.
Ketidakpastian usaha dan resikonya juga tinggi. Tidak seperti bekerja di kantor di perkotaan. Sekali mesin kapal rusak di tengah laut, nyawa bisa jadi taruhannya. Ketika ombak dan badai datang, tidak banyak tempat berlindung yang aman. Bahkan dalam setahun nelayan paling banyak bisa melaut selama delapan bulan. Sisanya menganggur atau cari kerja serabutan lain. Pendapatannya tidak tentu. Dan tidak banyak pihak perbankan atau asuransi yang mau mengurusi nelayan, kapal, dengan segenap kebutuhannya.
Kadang rencana melaut seminggu, tahu-tahu sudah balik dalam sehari, karena cuaca buruk. Atau sudah berhari-hari di laut, belum balik modal. Hasil tangkapannya tidak tentu. Padahal biaya untuk melaut tidak gratis. Perlu akses dan bekal melaut seperti BBM, es dan lainnya. Dan dengan postur nelayan Indonesia yang lebih 96% adalah nelayan kecil dengan kapal/perahu berukuran dibawah 10 Gross Ton, nelayan Indonesia berada pada posisi yang sangat rentan. Ditambah lagi, dampak kebijakan, sering berimbas lebih dalam terhadap mereka. Kenaikan harga BBM dan harga komoditas, misalnya, bisa memukul telak kehidupan nelayan. Padahal, di masa harga normal saja, mereka sudah mengakses harga BBM dan barang pokok lebih mahal dibanding mereka yang tinggal di perkotaan. Apalagi yang tinggal di wilayah Timur Indonesia atau daerah pinggiran. Belum lagi pasokan barang dan BBM belum tentu tersedia setiap saat. Sehingga selain menjadi profesi paling berbahaya, juga masih sangat beresiko.
Kebijakan dan Program Nelayan yang (belum) Berpihak
Ragam pola bantuan dan dukungan yang diberikan oleh pemerintah khusus untuk nelayan cukup banyak. Mulai dari subsidi BBM yang diberikan kepada kapal-kapal dibawah 30 GT. Dengan kuota sekitar 2,1 juta per liter setiap tahun, harusnya bisa mengurangi beban nelayan. Sudah lebih satu dekade program ini dijalankan. Bantuan kapal, perahu, alat tangkap, asuransi, setiap tahun rutin diberikan. Sayangnya jumlahnya sangat terbatas. Bantuan berbagai jenis pelatihan dan pengembangan kapasitas, juga intensif dilakukan, terhadap berbagai hal untuk menutupi masalah yang dihadapi nelayan. Untuk pembiayaan, selain disediakan KUR nelayan dari berbagai perbankan, juga ada program LPUMK di KKP yang ditujukan khusus nelayan dengan bunga rendah. Nelayan bisa mengakses pinjaman dengan bunga dibawah 6%. Demikian pula kredit yang skalanya lebih besar juga terbuka.
Sayangnya, berbagai bantuan tersebut, juga masih sering dikeluhkan tidak tepat sasaran. Alih-alih mendapatkan BBM dengan harga subsidi, banyak nelayan memperoleh dengan harga yang jauh lebih tingg, bahkan tidak kebagian. Apalagi tidak banyak SPBU bersedia mengaokomodir nelayan kecil yang membawa jirigen. Sementara SPBN khusus nelayan terbatas jumlahnya. Sebagian juga tidak beroperasi. Hal ini diperparah karena nelayan sering mengabaikan pendataan atau sistem administrasi, sehingga sering terpental ketika ingin mengakses berbagai bantuan atau dukungan yang disiapkan pemerintah. Sementara perbankan, sangat berhati—hati ketika memberikan pinjaman kepada nelayan.
Begitu juga dengan berbagai akses fasilitas dan infrastruktur lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, komunikasi, dan layanan lain. Nelayan kecil, perlu effort dan biaya lebih besar dibanding masyarakat umum ketika akan mengaksesnya. Karena lokasi dan ketersediaan fasilitas dan infrastruktur tersebut, tidak selengkap dan bonafid seperti di perkotan.
Walhasil, program-program yang disiapkan pemerintah dan berbagai pihak, tidak cukup jadi pengungkit kesejahteraan nelayan. Proporsinya selain sangat terbatas, juga tidak tepat sasaran dan tidak terdistribusi merata. Sehingga nelayan tetap harus bertarung setiap hari.
Bias Suara Nelayan
Kepentingan nelayan sudah karib disuarakan banyak pihak. Apalagi dalam momentum-momentum politik. Sayangnya organisasi dan pengorganisasian nelayan yang serius masih sangat jarang. Bahkan organisasi nelayan seringkali lebih banyak diisi bukan nelayan kecil. Banyak pengusaha, politisi atau yang bukan nelayan yang menjadi pengurus organisasi-organisasi nelayan. Bukan suara nelayan, apalagi nelayan kecil yang mewakili wajah organisasi-organisasi nelayan. Nelayannya, sering tidak hadir dalam berbagai forum-forum yang membicarakan kepentingan mereka.
Maka jangan heran, meski maksudnya baik, suara suara nelayan seringkali tidak betul-betul terwakili. Kebijakan-kebijakan yang sudah menghadirkan ‘nelayan’ belum tentu merepresentasikan kebutuhan nelayan. Diatasnamakan dan diwakili, belum tentu kebutuhan dan perspektifnya terwakili dengan baik dalam kebijakan dan proses-proses keputusan. Suara nelayan yang bias ini menjadi trigger yang juga memicu bias data, bias kebijakan, dan program, di berbagai tingkatan. Akibatnya mudah diduga, hak-hak dan kepentingan nelayan secara keseluruhan sering tidak terwakili dengan baik.
Rantai Pasok yang Putus
Indonesia negara perikanan terbesar di dunia, dibawah China. Sekitar 8% produk perikanan global dihasilkan Indonesia. Bahkan berbagai komoditas, misalnya Tuna, Indonesia merupakan produsen terbesar dunia. Namun manfaat ekonomi yang diterima nelayan, pasokan ekspor dan nilai ekspor kita, yang berujung pada pendapatan negara, masih cukup memprihatinkan. Salah satu kunci utamanya adalah Rantai Pasok yang putus dan Rantai Nilai yang tidak optimal. Di semua tahapan penangkapan ikan ada tantangan besar yang harus diatasi. Nelayan tidak punya modal untuk melaut. Ini perlu dijembatani. Ketika melaut, perlu memastikan system rantai dingin untuk kesegaran ikan harus terjamin. Sejak menangkap, hingga tiba di Tempat Pendaratan Ikan (TPI), diproses, dan didistribusikan hingga konsumen. Perlu dipakstikan pasokan es dan rantai dingin memadai. Salah penanganan, ikan yang komodias ekspor dengan harga Rp 50-60.000 per kg, bisa tiba-tiba runtuh menjadi Rp 15.000 saja. Harga dipermainkan tengkulak. Sebaran system logistic tidak merata di Indonesia. Ikannya banyak di Timur, tapi system logistic dan infrastruktur banyak di Barat. Biaya kemahalan dan operasional lebih tinggi dari seharusnya. Belum lagi hambatan tarif untuk ekspor, pungutan di sana-sini, pendataan dan perizinan belum optimal, yang masih menjadi kendala.
Data Perikanan belum Solid
Upaya menangkap ikan di laut sudah dilakukan sejak ratusan tahun. Tata kelola perikanan juga bergerak mengikuti pola tersebut. Sistem data perikanan juga memegang peran yang semakin penting. KKP termasuk sangat serius membenahi masalah data ini. Mulai jumlah nelayan, fasilitas, alat tangkap, kapal, pelabuhan, produktifitas, hingga mobilitas kapal bisa diketahui. Namun system data ini umumnya lebih solid di kapal-kapal diatas 30 GT, yang menjadi kewenangan pusat. Kapal-kapal ukuran 10-30 GT dan di bawah 10 GT, yang sebenarnya lebih 96% dari armada perikanan Indonesia, yang sebelumnya menjadi kewenangan Pemda, cenderung belum solid. Akibatnya, seringa dan kegamangan terkait pendataan ini.
Ini juga tentu saja berdampak terhadap total jumlah kapal, total GT kapal, total produksi tangkapan, total nelayan, ABK, total komoditas, dan sebagainya. Belum pernah dilakukan sensus Perikanan yang komprehensif termasuk kapal-ikan dilakukan di Indonesia. Selalu ditebegkang dengan sensus pertanian, yang masih gagal memotret profil perikanan dan dinamika nelayan dengan baik. Akibatnya tentu saja, masih banyak gap data yang harus disinkronkan, juga penggalian data-data baru di semua proses hulu-hilir perikanan. Perbaikan sistematis terhadap hal ini, akan memperbaiki postur dan profil perikanan Indonesia, termasuk produktifitas, alokasi, gap system rantai dingin, infrastruktur, SDM, distribusi BBM dan perbekalan, proses pasca-produksi, dan sebagainya. Yang ujung-ujungnya bisa meningkatkan pendapatan nelayan, transparansi tata Kelola perikanan, juga manfaat ekonomi bagi negara dalam berbagai bentuk.
Terobosan (Business Unusual)
Untuk menjawab tantangan diatas, mendesak dilakukan terobosan kebijakan dan program yang lebih berpihak pada nelayan. Juga agar tata kelola perikanan bisa lebih adaptif dan progressif. Tantangan eksternal maupun internal sektor perikanan besar sekali. Isu krisis perubahan iklim, inflasi, melemahnya ekonomi, harga komoditas, recovery pasca-pandemi, krisis pangan, system logistic yang buruk – terus membayang. Tidak bisa diabaikan. Meskipun KKP telah berupaya melakukan banyak hal untuk memperbaiki gap dan tantangan yang dihadapi. Namun tentu tidak cukup. Urusan perikanan ini multi-kompleks. Tidak cukup satu kementerian dan pihak yang kelola.
Perbankan perlu berani turun tangan serius membantu menjamin permodalan. BUMN ikut aktif mengisi system rantai dingin nasional yang masih jomplang. Kementerian lainnya, mengarusutamakan (mainstreaming) kebijakan dan program perkuat dukungan akses infrastruktur, fasilitas, dan kebijakan untuk nelayan.
Pemda juga perlu aktif bangkitkan Perusda/BUMD, BUMDES dan bekerjasama nelayan sehingga bisa mengawal dan jadi tuan rumah industri perikanan di wilayah sendiri. Hampir tidak ada BUMD/Perusda yang punya industri perikanan serius, dengan kapal ikan, dan usaha yang optimal. Akibatnya, Pemda cenderung bergantung ke Pusat. Pelabuhan-pelabuhan perikanan dibiarkan mangkrak. Padahal mereka dikelilingi lumbung-lumbung ikan yang nilainya luar biasa. Ujungnya industri perikanan tidak tumbuh di daerah. Kampus dan NGO aktif mengawal substansi dan logika tata kelola sehingga realistis dan tidak tersandung politik. Memang perlu langkah yang tidak biasa.
*Penulis adalah Pemerhati Perikanan Indonesia